Dasar Dasar Peniadaan Pidana

Post a Comment

Dasar Dasar Peniadaan Pidana

Situs Hukum -
Pembentuk undang-undang dalam beberapa rumusan delik merumuskan alasan penghapus pidana yaitu keadaan khusus yang jika dipenuhi menyebabkan tidak dapat dijatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana. 

Menurut Adami Chazawi, dasar-dasar peniadaan atau penghapusan pidana (strafuitslutingsgronden) di dalam KUHP dibedakan antara yang bersifat umum dan khusus.

A. Dasar-dasar Peniadaan Pidana yang bersifat umum

Tidak dipidananya seseorang atas pelanggaran ketentuan pidana yang bersifat umum disebabkan tidak dapat dituntutnya si pembuat (vervolgingsuitslutingsgronden) karena alasan pemaaf dan dihapuskannya perbuatan si pembuat karena alasan pembenar.

Pada hal yang disebutkan pertama (strafuitslutingsgronden), jaksa penuntut umum telah mengajukan surat dakwaan. Terdakwa telah diperiksa dalam sidang pengadilan, bahkan telah diajukannya requisitoir (tuntutan) oleh Jaksa Penuntut, dan telah terbukti terwujudnya tindak pidana itu oleh si pembuat.

Namun, karena terdapat hal-hal yang menyebabkan tidak dipidananya si pembuat, majelis hakim tidak menjatuhkan pidana (veroordering) kepadanya, melainkan menjatuhkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van alle rechtvervolging).

Putusan itu dijatuhkan terhadap pokok perkaranya atau terhadap tindak pidana yang didakwakan. 

Bab III KUHP menentukan tujuh alasan (dasar) yang menyebabkan tidak dapat dipidananya si pembuat ini, ialah: 

  • a. adanya ketidakmampuan bertanggung jawab si pembuat, (Pasal 44 ayat (1))
  • b. adanya daya paksa (overmacht, Pasal 48)
  • c. adanya pembelaan terpaksa (noodweer, Pasal 49 ayat (1)
  • d. adanya pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweerexcess, Pasal 49 ayat (2))
  • e. karena sebab menjalankan perintah UU (Pasal 50)
  • f. karena melaksanakan perintah jabatan yang sah (Pasal 51 ayat (1))
  • g. karena menjalankan perintah jabatan yang tidak sah dengan i’tikad baik (Pasal 51 ayat (2))

Dari tujuh alasan tersebut di atas, kemudian dibagi menjadi dua alasan, yaitu:

1. Alasan pemaaf (schulduitsluitingsgronden)

Alasan ini bersifat subjektif dan melekat pada diri orangnya, khususnya mengenai sikap batin sebelum atau pada pada saat akan berbuat. Alasan pemaaf ini terdiri dari:

  • ketidakmampuan bertanggung jawab
  • pembelaan terpaksa yang melampaui batas
  • menjalankan perintah jabatan yang tidak sah dengan i’tikad baik

2. Alasan pembenar (rechtsvaardingingsgronden)

Alasan ini bersifat objektif dan melekat pada perbuatannya atau hal-hal lain di luar batin si pembuat. Alasan pembenar ini terdiri dari:

  • adanya daya paksa
  • adanya pembelaan terpaksa
  • sebab menjalankan perintah UU
  • sebab menjalankan perintah jabatan yang sah

Ada beberapa perbedaan antara alasan pemaaf dengan alasan pembenar yaitu: pada alasan pemaaf si pelaku tidak dipidana meskipun perbuatannya terbukti melanggar undang-undang. Artinya  perbuatannya itu tetap bersifat melawan hukum, namun karena hilang atau hapusnya kesalahan pada diri si pelaku, perbuatannya itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya atau si pelaku dimaafkan atas perbuatannya tersebut. Contohnya orang gila yang melakukan pembunuhan atau perkosaan.

Sedangkan pada alasan pembenar, tidak dipidananya si pelaku karena perbuatannya dibenarkan atau perbuatan tersebut kehilangan sifat melawan hukumnya, meskipun kenyataannya perbuatan si pelaku telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana tetapi karena hapusnya sifat melawan hukum pada perbuatan itu, si pelaku tidak dapat dipidana. Contohnya, seorang algojo yang mengeksekusi mati terhukum pidana mati karena menjalankan perintah jabatan. 

Lebih lanjut akan dijelaskan alasan-alasan pemaaf dan pembenar menurut undang-undang di bawah ini.

1. Alasan pemaaf karena kemampuan bertanggung jawab

Pasal 44 KUHP merumuskan:

(1) Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhannya atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.

(2) Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada pembuatnya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa, paling lama 1 tahun sebagai waktu percobaan.

(3) Ketentuan dalam ayat (2) hanya berlaku bagi Mahkamah Agung Pengadilan Tinggi, dan Pengadilan Negeri.

Dari norma yang dirumuskan pada ayat (1), jelas ada dua penyebab tidak dipidananya karena tidak mampunya bertanggung jawabnya si pembuat yang terbukti melakukan tindak pidana, yaitu:

  1. karena jiwanya cacat dalam pertumbuhannya
  2. karena terganggu jiwanya dari sebab penyakit

Apakah yang dimaksud dengan tidak mampu bertanggung jawab?

Undang-undang sendiri tidak memberi tidak memberi keterangan yang lebih jelas tentang tidak mampu bertanggung jawab. Di dalam Memorie van Toelighting (MvT), ada keterangan mengenai ketidakmampuan bertanggung jawab, yaitu:

1) Apabila si pembuat tidak memiliki kebebasan untuk memilih antara berbuat dan tidak berbuat mengenai apa yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-undang.

2) Apabila si pembuat berada dalam suatu keadaan yang sedemikian rupa sehingga dia tidak dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu bertentangan dengan hukum dan tidak dapat menentukan akibat perbuatannya.

Pasal 44 ayat (1) tidak merumuskan arti tidak mampu bertanggung jawab, melainkan sekadar menyebut tentang dua macam keadaan jiwa orang yang tidak mampu bertanggung jawab terhadap perbuatan yang dilakukannya.

Sementara itu tidak dijelaskan mengenai kapan keadaan orang yang mampu bertanggung jawab terhadap perbuatan yang dilakukannya. Sementara itu, tidak dijelaskan mengenai kapan keadaan orang yang mampu bertanggung jawab.

Berpikir sebaliknya dari ketentuan Pasal 44 ayat (1), dapat disimpulkan bahwa orang mampu bertanggung jawab atas perbuatannya ialah bila dalam berbuat itu, tidak terdapat dua keadaan sebagaimana diterangkan dalam pasal tersebut.

Alasan undang-undang merumuskan mengenai pertanggungjawaban itu secara negatif, artinya merumuskan tentang keadaan jiwa yang tidak mampu bertanggung jawab dan bukan mengenai mampu bertanggungjawab, tidak lepas dari sikap pembentuk undang-undang yang menganggap bahwa setiap orang itu mampu bertanggung jawab.

Dengan berpijak pada prinsip itu, dalam rangka mencapai keadilan dari vonis hakim maka dalam hal kemampuan bertanggung jawab ini dirumuskan secara negatif, ditentukan keadaan tertentu mengenai jiwa seseorang yang tidak mampu bertanggung jawab agar tidak dipidana karena melakukan perbuatan.

Dalam praktik hukum, sepanjang si pembuat tidak memperlihatkan gejala-gejala kejiwaan abnormal, keadaan jiwa tidak dipermasalahkan.

Sebaliknya, ketika tampak gejala-gejala abnormal, gejala-gejala itu akan diselidiki apakah gejala-gejala yang tampak itu benar dan merupakan alasan pemaaf sebagimana dimaksudkan oleh Pasal 44 (1). 

Keadaan jiwa yang tidak mampu bertanggung jawab seperti yang sudah diuraikan diatas adalah bersifat umum (permanent insanity).

Sedangkan yang sifatnya khusus (temporary insanity) berkaitan erat dengan perbuatan itu sendiri serta keadaan-keadaan objektif dan atau subjektif tertentu ketika seorang itu berbuat. Orang yang tidak mampu bertanggung jawab secara khusus ini, ialah:

a) apabila keadaan jiwanya sedemikian rupa sehingga ia tidak bebas untuk menentukan kehendaknya terhadap perbuatan apa yang dia lakukan;

b) apabila keadaan jiwanya sedemikian rupa sehingga ia tidak mengerti, tidak menginsyafi atas suatu perbuatan yang dilakukannya itu sebagai perbuatan yang tercela;

Ada tiga cara yang dapat digunakan dalam rangka menyelidiki keadaan jiwa si pembuat untuk menentukan apakah si pembuat berada dalam keadaan tidak mampu bertanggung jawabm yaitu:

  1. Dengan metode biologis, artinya dengan menyelidiki gejala-gejala atau keadaan yang abnormal yang kemudian dihubungkan dengan ketidakmampuan bertanggung jawab.
  2. Dengan metode psikologis, artinya dengan menyelidiki ciri-ciri psikologis yang ada yang kemudian dari ciri-ciri itu dinilai untuk menarik kesimpulan apakah orang itu mampu bertanggung jawab ataukah tidak;
  3. Dengan metode gabungan, kedua cara tersebut di atas digunakan secara bersama-sama. Di samping menyelidiki tentang gejala gejala abnormal juga dengan meneliti ciri-ciri psikologis orang itu untuk menarik kesimpulan apakah dia mampu bertanggung jawab ataukah tidak.

B. Daya Paksa (Overmacht)

Alasan peniadaan pidana karena adanya daya paksa (Overmacht) dirumuskan dalam Pasal 48 KUHP yang menyatakan, bahwa “barangsiapa yang melakukan perbuatan karena pengaruh daya paksa tidak dipidana.”

Pada umumnya pakar hukum lebih banyak menggunakan istilah daya paksa untuk menerjemahkan istilah overmacht.

Namun ada juga pakar hukum yang menggunakan istilah lain seperti Surjanatamihardja dengan “berat lawan” atau Jusuf Ismail dengan kalimat yang agak panjang yakni “terpaksa oleh sesuatu kekuasaan yang tidak dihindarkan”, atau “hal memaksa, “kekuatan yang tidak dapat dihindarkan”, “paksaan yang menimbulkan keadaan tak berdaya. 

a. Pengertian Daya Paksa

Undang-undang tidak memberikan keterangan lebih jauh tentang daya paksa. Menurut Memorie van Toelichting (MvT) daya paksa adalah “setiap kekuatan, setiap dorongan, setiap paksaan yang tidak dapat dilawan”.

Dalam daya paksa ini bukan merupakan suatu dorongan yang menyebabkan pelaku secara fisik tidak bisa memilih selain apa yang harus dia lakukan melainkan suatu tekanan yang menyebabkan sifat suatu perbuatan dari perbuatannya menjadi hilang karena dibawah paksaan sehingga dia tidak bisa berbuat lain kecuali apa yang harus dia lakukan.

Jadi overmacht adalah suatu pengertian yang normatif dimana seseorang karena ancaman bahaya dipaksa melakukan suatu perbuatan pidana walaupun dia tidak menghendaki melakukan perbuatan tersebut. Contohnya seorang teller yang diancam oleh seorang perampok bersenjata untuk menyerahkan uang yang ada padanya tidak ada pilihan lain selain menyerahkan uang tersebut.

Contoh klasik dapat kita temukan pada kasus tenggelamnya sebuah kapal dimana terdapat sebuah papan yang diperebutkan oleh dua orang dimana papan tersebut hanya bisa menyelamatkan satu orang saja.

Oleh karena itu salah satu dari mereka harus membunuh yang lainnya agar bisa selamat. Pembunuhan tersebut tidak dapat dipidana.  

Dari keterangan dalam MvT tentang daya paksa, dapatlah diketahui bahwa daya paksa dapat terjadi karena tekanan psychis dan tekanan fisik. Istilah dorongan (gedrongen) menunjuk pada tekanan psychis, dan paksaan (dwang) menunjuk pada tekanan yang bersifat fisik.

Namun, orang tidak mengetahui dasar penghapus pidana tersebut apakah terletak atau melekat pada perbuatannya atau pada sipembuatnya, salah satu hal yang penting dalam keadaan daya paksa ini. 

b. Macam Daya Paksa

Dalam doktrin hukum dapat dibedakan antara 2 macam daya paksa, ialah:

a) daya paksa absolut
b) daya paksa relatif

Apabila dilihat dari segi dari mana asalnya  tekanan dan paksaan itu maka masing-masing bentuk daya paksa tersebut diatas dapat dibedakan lagi, antara:

a) daya paksa dari sebab perbuatan manusia
b) daya paksa dari sebab diluar perbuatan manusia, ialah sebab alam atau binatang

Apabila dilihat dari sifatnya tekanan dan paksaan, maka baik daya paksa absolut maupun relatif dapat dibedakan:

a) daya paksa oleh sebab tekanan yang bersifat pisik
b) daya paksa oleh sebab tekanan yang bersifat psychis

Contoh daya paksa absolut yang berupa paksaan fisik (oleh perbuatan manusia), ialah seorang yang kuat menerjang seorang anak yang berdiri dekat kaca, membuat anak itu terpental dan mengenai kaca dan pecahlah kaca itu.

Contoh daya paksa absolut oleh adanya paksaan psychis dari perbuatan manusia, seorang yang berada dalam keadaan dihipnotis diperintah oleh hypnotiseur untuk berbuat membakar sebuah mobil milik musuhnya.

Contoh daya paksa absolut karena alam ialah seseorang dipanggil sebagi ahli untuk memberikan keteranngan di sidang pengadilan pidana, tidak dapat hadir karena pada saat sebelum berangkat hendak memenuhi panggilan itu rumahnya disambar petir dan dia tak sadarkan diri akibat luka bakar yang dideritanya.

Sedangkan daya paksa yang dimaksud oleh Pasal 48 adalah daya paksa relatif baik yang bersifat fisik maupun yang bersifat psychis baik yang karena perbuatan manusia maupun yang bukan.

Daya paksa relatif yang bersifat fisik disebut dengan noodstand atau keadaan darurat, suatu daya paksa yang disebabkan oleh alam. Daya paksa relatif sebagaimana tersebut dalam Pasal 48 adalah suatu paksaan yang sedemikian rupa menekan seorang sehingga ia berada dalam suatu keadaan yang serba salah, suatu keadaan mana memaksa dia mengambil suatu sikap dan berbuat yang pada kenyataannya melanggar undang-undang, yang bagi setiap orang normal tidak akan mengambil sikap dan berbuat lain berhubung dengan resiko dari pilihan perbuatan lain itu lebih besar terhadap dirinya.

Mengorbankan kepentingan hukum yang lebih kecil demi untuk melindungi atau mempertahankan kepentingan hukum yang lebih besar, inilah prinsip dari daya paksa menurut arti Pasal 48.

Bahwa apa yang sudah diterangkan diatas, kiranya senada dengan apa yang dikemukakan oleh Hoge Raad dalam arrestnya (12-6-1951) yang menyatakan bahwa “overmacht terdapat bilamana paksaan itu menjadi begitu kuat dan dijalankan terhadap suatu kepentingan tertentu, sehingga dari pembuat tidak dapat diharapkan mengadakan suatu perlawanan, yaitu apabila jalan keluar lain tidak terbuka atau pelanggaran terhadapnya secara patut dapat diharapkan dan selanjutnya, jikalau dalam meyelamatkan kepentingan sendiri tidak menghasilkan korban yang lebih besar”.   

Dengan demikian daya paksa adalah sebagi setiap daya, setiap dorongan atau setiap paksaan yang tidak dapat dilawan baik secara fisik maupun psikis.

c. Keadaan Darurat (Noodtoestand)

Keadaan darurat adalah suatu daya paksa relatif dari sebab di luar perbuatan manusia, jadi bagian dari daya paksa relatif.

Namun menurut Jonkers keadaan darurat itu adalah berdiri sendiri, di mana daya paksa menurut beliau adalah (1) daya paksa absolut, (2) daya paksa relatif dan (3) noodtoestand.

Keadaan darurat adalah suatu keadaan dimana suatu kepentingan hukum terancam bahaya, yang untuk menghindari ancaman bahaya itu terpaksa dilakukan perbuatan yang pada kenyataannya melanggar kepentingan hukum yang lain.

Contohnya untuk menolong anak kecil yang terperangkap api dalam sebuah rumah yang sedang terbakar (kepentingan hukum atas anak itu sedang terancam), maka seorang merusak sebuah pintu rumah (melanggar kepentingan hukum atas hak milik orang) untuk menolong anak itu.

Keadaan terpaksa dapat dibagi tiga macam:

  1. dalam hal terjadi pertentangan antara dua kepentingan hukum
  2. dalam hal terjadi pertentangan antara kewajiban hukum dengan kepentingan hukum
  3. dalam hal terjadinya pertentangan antara dua kewajiban hukum.   

3. Pembelaan Terpaksa (Noodweer)

Perihal pembelaan terpaksa (noodweer) dirumuskan dalam Pasal 49 ayat (1) KUHP sebagi berikut:

“tidak dipidana, barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri atau orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena adanya serangan atau ancaman serangan yang melawan hukum pada ketika itu juga.”

Berdasarkan rumusan Pasal 49 ayat (1) tersebut dapat disimpulkan ada dua unsur pembelaan terpaksa, yaitu:

a.Unsur syarat adanya pembelaan terpaksa, terdiri dari:

  1. pembelaan terpaksa harus dilakukan karena sangat terpaksa;
  2. untuk mengatasi danya serangan atau ancaman serangan seketika yang bersifat melawan hukum;
  3. serangan atau ancaman serangan mana ditujukan pada (tiga) kepentingan hukum, ialah kepentingan hukum atas; badan, kehormatan kesusilaan dan harta benda sendiri atau orang lain;
  4. harus dilakukan ketika adanya ancaman serangan dan berlangsungnya serangan atau bahaya masih mengancam;
  5. perbuatan pembelaan harus seimbang dengan serangan yang mengancam.
Kelima syarat itu adalah suatu kebulatan yang tidak terpisahkan, dan berkaitan sangat erat satu dengan yang lain.

b. Unsur bentuk-bentuk pembelaan terpaksa, terdiri dari: 

  1. membela dirinya sendiri atau orang lain artinya juga ialah serangan itu bersifat dan ditujukan pada fisik atau badan manusia;
  2. membela kehormatan kesusilaan, artinya ialah serangan itu tertuju pada kehormatan kesusilaan; dan
  3. membela harta benda sendiri atau harta benda lain, artinya ialah serangan itu tertuju pada harta atau kebendaan.  

Perbuatan orang yang memenuhi unsur-unsur Pasal 49 ayat (1) tersebut di atas, pada kenyataannya memenuhi rumusan tindak pidana tertentu, bisa penganiayaan (351) misalnya berwujud memukul seorang pria yang sedang berusaha memperkosa seorang perempuan, bahkan bisa berwujud pembunuhan (338), misalnya polisi menembak mati seorang perampok di sebuah bank yang dengan menggunakan senjata api telah memberondong petugas yang hendak menangkapnya dengan tembakan yang dapat mematikan.

Akan tetapi dengan dasar pembelaan terpaksa, perbuatan yang pada kenyataannya bertentangan dengan undang-undang itu telah kehilangan sifat melawan hukum, oleh sebab itu kepada pembuatnya tidak dipidana karena perbuatannya dapat dibenarkan.

Dalam hal untuk membela diri, adalah terhadap serangan fisik oleh orang lain, sebagimana contoh diatas. Terhadap serangan yang boleh dilakukan perbuatan pembelaan terpaksa, hanyalah serangan oleh perbuatan (fisik, aktif) manusia, dan tidak dibenarkan oleh binatang, misalnya dikejar anjing kemudian anjingnya dibunuh.

Dalam hal kehormatan kesusilaan adalah kesusilaan yang berkaitan erat dengan masalah seksual misalnya laki-laki hidung belang meraba buah dada seorang perempuan yang duduk di sebelah di sebuah taman, maka dibenarkan apabila ketika serangan berlangsung memukul laki-laki itu.

Dalam hal pembelaan terhadap harta benda, ialah terhadap benda-benda yang bergerak dan berwujud dan yang melekat bak kebendaan, sama dengan pengertian benda pada pencurian (362). Perbedaan Daya Paksa (Overmacht) dengan Pembelaan Terpaksa (Noodweer) adalah sebagai berikut:

1. Dari segi serangan yang bersifat melawan hukum.  

  • Daya paksa terjadi:
    Apabila perbuatan yang menjadi pilihan oleh orang yang diserang (korban) adalah berupa perbuatan yang memang dimaksudkan dan diinginkan si penyerang. Misalnya, dengan todongan pistol seorang memaksa orang lain untuk menandatangani akta palsu, kemudian korban menandatanganinya.
    Di sini orang yang diserang terpaksa melakukan perbuatan yang in casu dikehendaki si penyerang, karena dia tidak berdaya untuk melawan serangan yang memaksa itu.

  • Tidaklah ditentukan bidang kepentingan hukum apa dalam hal penyerangan yang dapat dilakukan perbuatan dalam keadaan daya paksa
  • Pada daya paksa dapat terjadi dalam hal keadaan darurat, yaitu terjadi dalam hal konflik antara dua kepentingan hukum, konflik antara dua kewajiban hukum dan konflik antara kewajiban hukum dengan kepentingan hukum.

Pada pembelaan terpaksa adalah sebaliknya ialah:

  • Perbuatan yang menjadi pilihan orang yang diserang adalah berupa perbuatan yang tidak menjadi tujuan atau maksud si penyerang. Misalnya si majikan, laki-laki hidung belang sedang berusaha memperkosa pembantu rumah tangganya dengan telah menindih tubuh perempuan itu, kepergok oleh suaminya dan dengan kuat sang suami menendang kepala majikannya itu. Pilihan perbuatan suami pembantu berupa menendang kepala majikannya itu adalah suatu pilihan perbuatan yang tidak dikehendaki oleh sang majikan.
  • Pada pembelaan terpaksa, orang yang melakukan pembelaan terpaksa ada kemampuan berbuat untuk melawan serangan oleh si penyerang.
  • Pada pembelaan terpaksa hanya dapat dilakukan terhadap serangan-serangan yang bersifat melawan hukum dalam tiga bidang ialah; tubuh, kehormatan kesusilaan, dan harta benda.
  • Pembelaan terpaksa tidak dapat terjadi dalam keadaan darurat.

4. Pembelaan Terpaksa yang Melampaui Batas (Noodweer Exces)

Pembelaan terpaksa yang melampaui batas dirumuskan dalam Pasal 49 ayat (2), yang rumusannya adalah pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh kegoncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.

Adapun persamaan antara pembelaan terpaksa dan pembelaan melampaui batas adalah:

  • Keduanya terdapat serangan atau ancaman serangan yang melawan hukum, yang ditujukan pada tiga kepentingan hukum (tubuh, kehormatan kesusilaan dan harta benda) dan adanya kesamaan pada melakukan perbuatan pembelaan memang dalam keadaan terpaksa dalam usaha untuk mempertahankandan melindungi suatu kepentingan hukum yang terancam bahaya oleh serangan atau ancaman serangan yang melawan hukum.
  • Pembelaan itu ditujukan untuk mempertahankan dan melindungi kepentingan hukum diri sendiri atau kepentingan hukum orang lain.

Adapun perbedaannya yaitu:

Pertama, bahwa perbuatan apa yang dilakukan sebagai wujud pembelaan terpaksa haruslah perbuatan seimbang dengan bahaya dari serangan atau ancaman serangan, perbuatannya haruslah sepanjang perlu dalam hal pembelaan terpaksa, tidak diperkenankan melampaui dari apa yang diperlukan dalam pembelaan itu.

Tetapi pada pembelaan terpaksa yang melampaui batas, ialah perbuatan apa yang menjadi pilihannya sudah melebihi dari apa yang diperlukan dalam hal pembelaan atas kepentingan hukum yang terancam, yang artinya pilihan perbuatan itu sudah tidak seimbang dengan bahaya yang ditimbulkan oleh adanya serangan atau ancaman serangan.

Misalnya seorang menyerang lawannya dengan pecahan botol, yang sebenarnya dapat dilawan dengan sepotong kayu, tetapi karena kegoncangan jiwa yang hebat dilawan dengan menembaknya.

Kedua, bahwa dalam hal pembelaan terpaksa, perbuatan pembelaan hanya dapat dilakukan pada ketika adanya ancaman serangan atau serangan sedang berlangsung, dan tidak boleh dilakukan setelah serangan terhenti atau tidak ada lagi. Tetapi pada pembelaan terpaksa yang melampaui batas, perbuatan pembelaan itu masih boleh dilakukan sesudah serangan terhenti.

Ketiga, tidak dipidanya si pembuat pembelaan terpaksa oleh karena kehilangan sifat melawan hukum pada perbuatannya, jadi merupakan alasan pembenar. Dasar peniadaann pidana karena pembelaan terpaksa terletak pada perbuatannya.

Sedangkan tidak dipidanya si pembuat pembelaan terpaksa yang melampaui batas oleh karena adanya alasan penghapus kesalahan pada diri si pembuat, jadi merupakan alasan pemaaf.

Dasar tidak dipidananya si pembuat dalamm pembelaan yang melampaui batas terletak pada diri orangnya, dan bukan pada perbuatannya.

Melampaui batas dapat diartikan sebagai (1) melampaui batas apa yang perlu, dan (2) boleh dilakukan walaupun serangan telah tiada. Keistimewaan ini pada dasarnya merupakan perkecualian dari pembelaan darurat pada ayat pertama, yang terletak pada kegoncangan jiwa yang hebat.

5. Menjalankan Perintah Undang-undang (Wettelijk Voorschrift)

Pasal 50 KUHP menentukan, bahwa “Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan peraturan undang-undang, tidak dapat dipidana”. Berdasarkan rumusan tersebut di atas, ada beberapa yang perlu diterangkan ialah:

  1. perbuatan;
  2. ketentuan undang-undang; dan
  3. pelaksanaan perintah undang-undang.

Perbuatan yang dimaksudkan pada poin pertama ialah perbuatan mana yang pada dasarnya jika tidak ada undang-undang yang memberi kewenangan untuk melakukannya adalah berupa suatu tindak pidana.

Contohnya Polisi yang telah memenuhi syarat dan prosedurnya melakukan penangkapan seorang tersangka dan menahannya, yang jika tidak ada ketentuan peraturan undang-undang yang memberi kewenangannya adalah berupa tindak pidana.

Mengenai ketentuan undang-undang dalam arti formal terbatas pada peraturan dari undang-undang negara dan peraturan-peraturan yang diperintahkan oleh undang-undang negara. Peraturan perundang-undangan (wettelijk voorschrift) adalah semua peraturan-peraturan yang dibuat oleh kekuasaan yang berwenang untuk maksud tersebut menurut undang-undang”.

Jadi dalam pengertian luas di sini adalah peraturan undang-undang yang dibuat oleh Parlemen (DPR) bersama pemerintah, dan termasuk segala peraturan yang ada di bawahnya, seperti Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Daerah/Qanun karena semua peraturan itu dibentuk oleh kekuasaan berdasarkan undang-undang.

Sedangkan mengenai hal yang ketiga, ketentuan Pasal 50 pada dasarnya bukan sekadar mengenai melaksanakan perbuatan yang sesuai dengan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang saja, akan tetapi termasuk juga segala perbuatan-perbuatan yang dilakukan berdasarkan wewenang yang diberikan oleh undang-undang tersebut.

Hoge Raad dalam pertimbangan suatu arrestnya (28-10-1985) menyatakan bahwa “menjalankan undang-undang tidak hanya terbatas pada melakukan perbuatan yang diperintahkan oleh undang-undang, akan tetapi lebih luas lagi, ialah meliputi pula perbuatan-perbuatan yang dilakukan atas wewenang yang diberikan oleh suatu undang-undang. 

6. Menjalankan Perintah Jabatan

Alasan peniadaan pidana karena menjalankan perintah jabatan dirumuskan dalam Pasal 51 ayat (1) yang bunyinya:

“Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana.”

Alasan peniadaan pidana ini sama dengan alasan peniadaan pidana oleh sebab menjalankan peraturan perundang-undangan (Pasal 50) yang telah diterangkan di atas, dalam arti kedua alasan peniadaan pidana itu menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan.

Pada kedua alasan tersebut juga berupa perbuatan yang boleh dilakukan sepanjang menjalankan kewenangan berdasarkan perintah undang-undang maupun perintah jabatan.

Sedangkan perbedaannya ialah pada perintah jabatan ada hubungan publik antara orang yang memberi perintah dan orang yang diberi perintah yang in casu melakukan suatu perbuatan tertentu.

Kewenangan pada menjalankan perintah jabatan adalah pada perintah yang diberikan berdasarkan undang-undang. Sedangkan pada menjalankan perintah undang-undang keabsahan menjalankan perintah itu ada pada undang-undang.

Contoh menjalankan perintah jabatan yang dimaksud, ialah seorang penyelidik mendapat perintah dari penyidik untuk menangkap seorang tersangka (Pasal 16 ayat (1) KUHAP).

Antara penyelidik dan penyidik ada hubungan publik yang berdasarkan undang-undang, hubungan inilah yang memberi dasar bagi penyelidik boleh melakukan perbuatan sepanjang perlu dan layak dalam upaya menjalankan perintah jabatan itu.

Misalnya dengan kekerasan memaksa memborgol (sifatnya serangan) terhadap si tersangka yang tidak menurut dan melawan, dan jika perlu dan layak dapat melumpuhkan dengan tembakan pada kakinya apabila yang bersangkutan menggunakan pisau melawan penyelidik yang hendak menjalankan tugas penangkapan tersebut.

7. Menjalankan Perintah Jabatan yang Tidak Sah dengan Itikad Baik

Menjalankan perintah jabatan yang tidak sah (een onbevoged ambtelijk bevel) dengan itikad baik sebagai dasar peniadaan pidana, dirumuskan pada Pasal 51 ayat (2) yang bunyinya:

“Perintah jabatan tanpa wewenang tidak menyebabkan hapusnya pidana, kecuali apabila yang menerima perintah, dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang, dan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya.”

Sejalan dengan pembelaan terpaksa yang melampaui batas, pada menjalankan perintah jabatan tanpa wewenang/tidak sah dengan itikad baik ini, mengenai apa yang dilakukan itu pada dasarnya adalah terlarang oleh undang-undang, namun karena sesuatu hal yang menjadi alasan luar biasa, maka perbuatan itu menjadi tidak dipidana.

Tidak dipidananya si pembuat karena alasan noodweer exces terletak pada kegoncangan jiwa yang hebat, tetapi pada pelaksanaan perintah tanpa wewenang adalah pada “itikad baik dan pelaksanaan dari apa yang menjadi isi perintah itu adalah memang menjadi tugas pekerjaannya.”

Dari apa yang dirumuskan pada Pasal 51 ayat (2) tersebut, ada syarat yang wajib dipenuhi agar orang yang menjalankan perintah yang tidak sah dengan itikad baik itu tidak dipidana, ialah syarat subjektif dan syarat objektif yang bersifat kumulatif-imperatif.

  1. Syarat subjektif, ialah dengan itikad baik dia mengira bahwa perintah itu adalah sah;
  2. Syarat objektif, ialah pada kenyataannya perintah itu masuk dalam bidang tugas pekerjaannya.

Bibliografi

  • Adami Chazawi. 2007. Pelajaran Hukum Pidana (Bagian 2). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
  • Adami Chazawi 2002. Pelajaran Hukum Pidana (Bagian I). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
  • Jonkers, J.E. 1987. Hukum Pidana Hindia Belanda, (Judul asli: Handboek van het Nederlandsch Indische Strafrecht). Diterjemahkan oleh Tim Penerjemah Bina Aksara. Jakarta: Bina Aksara.
  • Zainal Abidin. 2005. Pemidanaan, Pidana dan Tindakan dalam Rancangan KUHP. Jakarta: Position Paper Advocasi RUU KUHP Seri 3, Elsam.
  • Sudarto. 1991. Hukum Pidana Jilid 1. Semarang: Fakultas Hukum UNDIP.
  • Lamintang, P.A.F. 1990. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Sinar Baru.
  • Soesilo. 1988. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politea.
Note: Untuk menuntaskan bab kelima materi mata kuliah Hukum Pidana ini. Silahkan klik tombol berikut untuk lanjut ke sesi berikutnya. 👇👇👇

Adam Malik
Pendiri https://www.situshukum.com yang sudah bergelar S.H namun juga gemar dengan dunia Teknologi. Salam Kenal!

Related Posts

Post a Comment

Subscribe Our Newsletter