Makalah Tindak Pidana Korupsi Mata Kuliah Hukum Pidana Khusus

Post a Comment
Makalah Tindak Pidana Korupsi

Korupsi menimbulkan dampak yang sangat negatif. Sebagai kejahatan, korupsi tidak saja merugikan keuangan dan perekonomian negara, tapi juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional yang menuntut efektivitas tinggi. Korupsi telah mengikis nilai-nilai demokrasi, melanggar asas pemerintahan yang baik (good governance), serta menyebabkan diskriminasi terhadap pelayanan publik. Korupsi juga telah menyebabkan rendahnya keterbukaan dan keterwakilan penyusunan suatu kebijakan di dalam tubuh legislatif, dan bahkan korupsi juga mengakibatkan terhambatnya kepastian hukum di dalam tubuh peradilan.

Permasalahan korupsi yang terjadi tidak hanya berhenti sampai itu saja. Perkembangan dunia yang demikian pesat sekarang ini, di dorong oleh faktor globalisasi, serta perkembangan teknologi menyebabkan korupsi tidak lagi dapat dipandang semata - mata sebagai permasalahan dalam negeri sebuah Negara saja, melainkan telah meluas dan juga berkembang menjadi sebuah kejahatan dalam lingkup antar Negara (transnational crime). Kejahatan tersebut berupa pencucian uang (money laundering) dengan memanfaatkan transaksi-transaksi internasional dengan tujuan untuk menyembunyikan hasil kejahatan dan salah satu modus yang paling sering dilakukan adalah melalui pemanfaatan fasilitas perbankan dengan jaminan kerahasiaan yang diberikan.

A. Yurisdiksi dan Dasar Hukum Tindak Pidana Korupsi di Indonesia

Yurisdiksi yang terdapat dalam KUHP dirasakan belum memenuhi kebutuhan warga negara dalam hal perlindungan dari negaranya terutama dalam hal tindak pidana Korupsi. Oleh karena itu, pengaturan yurisdiksi diatur dalam beberapa peraturan perUndang-undangan diluar KUHP. Seperti: Undang-undang terorisme, undang-undang narkotika, undang-undang trafficking, undang-undang KORUPSI, dan undang-undang money laundring.

Indonesia adalah salah satu negara yang telah meratifikasi UNCAC 2003 melalui Undang-undang No 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa - Bangsa Anti Korupsi 2003 (United Nation Nation Convention Against Corruption 2003) dan telah melakukan banyak perubahan serta kemajuan dalam upayanya memberantas korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang lahir secara tidak langsung berdasarkan konvensi ini menandakan bahwa terdapat perubahan atas kemauan yang konkrit dalam memberantas korupsi di Indonesia. Lahirnya UNCAC 2003 juga diharapkan dapat lebih memaksimalkan upaya pemberantasan korupsi serta menjadi peluang bagi Indonesia untuk melakukan pengembalian aset hasil kejahatan korupsi yang dilarikan oleh koruptor dan disimpan dinegara lain.

Sejarah Hukum Tipikor Di Indonesia

Di Indonesia langkah-langkah pembentukan hukum positif untuk menghadapi masalah korupsi telah dilakukan selama beberapa masa perjalanan sejarah dan melalui bebrapa masa perubahan perundang- undangan. Istilah korupsi sebagai istilah yuridis baru digunakan tahun 1957, yaitu dengan adanya Peraturan Penguasa Militer yang berlaku di daerah kekuasaan Angakatan Darat (Peraturan Militer Nomor PRT/PM/06/1957). Kemudian ada lagi Tim Pemberantasan Korupsi tahun 1960 dengan munculnya Perppu tentang pengusutan, penuntutan dan pemeriksaan tindak pidana korupsi.

Perpu itu lalu dikukuhkan menjadi UU No.24/1960. Salah satu upaya yang dilakukan adalah melancarkan “Operasi Budhi”, khususnya untuk mengusut karyawan-karyawan ABRI yang dinilai tidak becus. Waktu itu perusahaan-perusahaan Belanda diambil-alih dan dijadikan BUMN, dipimpin oleh para perwira TNI. “Operasi Budhi” antara lain mengusut Mayor Suhardiman (kini Mayjen TNI Pur) meskipun akhirnya dibebaskan dari dakwaan.

Beberapa peraturan yang mengatur mengenai tindak pidana korupsi di Indonesia sebagai berikut:
  1. Masa Undang- Undang Nomor 24/Prp/Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.  Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Anti Korupsi, yang merupakan peningkatan dari berbagai peraturan. Sifat Undang- Undang ini masih melekat sifat kedaruratan, menurut pasal 96 UUDS 1950, pasal 139 Konstitusi RIS 1949.20 Undang- Undang ini merupakan perubahan dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 24 Tahun 1960 yang tertera dalam Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1961.
  2. Masa Undang- Undang Nomor 3 Tahun 1971 (LNRI 1971-19, TNLRI 2958) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
  3. Masa Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 (LNRI 1999-40, TNLRI 387), tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi kemudian diubah dengan undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 (LNRI 2001-134, TNLRI 4150), tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Selanjutnya pada tanggal 27 Desember 2002 dikeluarkan Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002 (LNRI 2002-137. TNLRI 4250) tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

B. Definisi dan Unsur-unsur Tindak Pidana Korupsi

1. Definisi Tindak Pidana Korupsi

Korupsi berasal dari kata Latin “Corruptio” atau “Corruptus” yang kemudian muncul dalam bahasa Inggris dan Prancis “Corruption”, dalam bahasa Belanda “Korruptie” dan selanjutnya dalam bahasa Indonesia dengan sebutan “Korupsi” (Dr. Andi Hamzah, S.H., 1985: 143).

Korupsi secara harfiah berarti jahat atau busuk (John M. Echols dan Hassan Shadily, 1977: 149), sedangkan A.I.N Kramer ST. menerjemahkannya sebagai busuk, rusak, atau dapat disuapi (A.I.N. Kramer ST. 1997: 62). Oleh karena itu, tindak pidana korupsi berarti suatu delik akibat perbuatan buruk, busuk, jahat, rusak atau suap.

Menurut Undang-Undang No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang termasuk dalam tindak pidana korupsi adalah:
“Setiap orang yang dikategorikan melawan hukum, melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan maupun kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.”
Menurut Haryatmoko, Korupsi adalah upaya campur tangan menggunakan kemampuan yang didapat dari posisinya untuk menyalahgunakan informasi, keputusan, pengaruh, uang atau kekayaan demi kepentingan keuntungan dirinya.

2. Unsur-unsur Tindak Pidana Korupsi

Unsur-unsur tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi adalah:
  1. Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;
  2. Perbuatan melawan hukum;
  3. Merugikan keuangan Negara atau perekonomian;
  4. Menyalahgunakan kekuasaan, kesempatan atas sarana yang ada padanya karena jabatan dan kedudukannya dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain.

C. Ketentuan Khusus Hukum Acara (Hukum Formil) Tindak Pidana Korupsi

Berkaitan hukum acara penyelesaian korupsi sebelum berlakunya Undang-Undang No. 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, penyelesaian perkara korupsi dilakukan oleh Pengadilan Umum dan Pengadilan Khusus Korupsi yg dibentuk berdasarkan Pasal 53 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002, tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Pengadilan Khusus Tindak pidana korupsi yg dibentuk atas dasar Pasal 53 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002, telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusannya No. 012-016-019/PUU-IV/2006 tanggal 19 Desember 2006, dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.

Didalam Undang-Undang No. 46 tahun 2009, selain mengatur tentang hakim tindak pidana korupsi  yang  terdiri dari Hakim karier dan hakim ad Hoc, dimana keberadaan hakim ad hoc diperlukan karena keahliannya sejalan dengan kompleksitas dan modus operandi tindak pidana korupsi, baik yang menyangkut  pembuktian maupun luasnya cakupan tindak pidana korupsi antara lain dibidang keuangan perbankan, perpajakan, pasar modal, pengadaan barang dan jasa pemerintah.

Didalam penjelasan umum dikatakan bahwa hukum acara yg dipergunakan didalam pemeriksaan di sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, pada dasarnya dilakukan sesuai dengan hukum acara yang berlaku  kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini, Kekhususan hukum acara tersebut antara lain mengatur :
  • a) Penegasan pembagian tugas dan wewenang antara Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
  • b) Komposisi Majelis Hakim dalam pemeriksaan disidang pengadilan baik dalam tingkat  pertama, banding, maupun tingkat  kasasi.
  • c) Jangka waktu penyelesaian perkara tindak pidana korupsi pada setiap tingkatan pemeriksaan.
  • d) Alat bukti yang diajukan didalam persidangan, termasuk alat bukti yg diperoleh secara sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  • e) Adanya kepaniteraan khusus untuk pengadilan tindak pidana korupsi. Dan
  • f) Ketentuan diatas diatur secara khusus didalam UU No. 46 tahun 2009.
Selanjutnya tentang hukum acara yang berlaku diatur didalam Pasal 25, pemeriksaan disidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku kecuali ditentukan lain didalam Undang-Undang ini.

Didalam penjelasan ketentuan tersebut yg dimaksud  dengan “hukum acara yang berlaku” adalah Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Undang-Undang No. 31 Tahun 1999, tentang Pemberantasan Korupsi, Undang-Undang No.14 Th.1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
  1. Dengan kutipan ketentuan ketentuan tersebut diatas, maka pertanyaan-pertanyaan yang bertalian dengan kewenangan  memberikan: Izin penyitaan barang bukti, izin penggeledahan kewenangan perpanjangan penahanan sebelum pelimpahan berkas perkara adalah berlaku ketentuan KUHAP, artinya kewenangan berada pada Ketua Pengadilan dimana terjadi peristiwa pidana korupsi (locus delicti ).
  2. Dengan  telah dibentuknya Pengadilan TIPIKOR, yang berada di 33 ibu kota Propinsi, maka seraya merujuk pada Pasal 5 dan 6 Undang- Undang No. 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, maka Pengadilan Negeri yang sebagian besar saksi saksinya  bertempat tinggal, tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara tindak pidana korupsi. 
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor, 46 tahun 2009 tentang pengadilan tindak pidana korupsi, Pada BAB VI,  tentang Hukum Acara: Pasal 25:
“Pemeriksaan di sidang pengadilan tindak pidana korupsi dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang  ini.” Yang dimaksud dengan hukum acara pidana yang berlaku adalah:
Undang-Undang Nomor, 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana, Undang-Undang Nomor, 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor, 20 tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor, 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, Undang-Undang Nomor, 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor, 3 tahun 2009 tentang perubahan kedua atas UU Nomor  14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

D. Masalah Sosial Yang Muncul Akibat Tindak Pidana Korupsi

Masalah sosial muncul akibat terjadinya perbedaan yang mencolok antara nilai dalam masyarakat dengan realita yang ada. Yang dapat menjadi sumber masalah sosial yaitu seperti proses sosial dan bencana alam. Adanya masalah sosial dalam masyarakat ditetapkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan khusus seperti tokoh masyarakat, pemerintah, organisasi sosial, musyawarah masyarakat, dan lain sebagainya. Salah satu Masalah sosial yang sering muncul di Indonesia saat ini yaitu dari segi Faktor hukum: KORUPSI.

Tebang Pilih Kasus Korupsi dalam Perspektif Sosiologi Hukum

Seperti yang terjadi pada realita koruptor-koruptor yang dekat dengan kekuasaan dan/atau mempunyai kekuatan politik dan ekonomi (uang) yang kuat sulit sekali untuk disentuh dengan hukum, hal ini tidaklah menghenrankan kita semua mengingat hukum di negeri ini belumlah menjadi panglima tapi hukum hanyalah sebagai posisi tawar menawar (bargaining position) dalam politik ekonomi dan kekuasaan.

Para aparat penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya haruslah berpegang pada hukum positif yang berlaku, namun dari sudut politik, orang tidak hanya melihat pada pelaksanaan hukum, akan tetapi juga mempertimbangkan akibat-akibat suatu keputusan yang berlandaskan hukum pada kepentingan bangsa dan Negara yang lebih luas. Kedua macam sikap dan pandangan itu acap kali menimbulkan keraguan dalam melaksanakan hukum di lapangan.

Jadi sulit sekali bagi kita untuk memisahkan hukum, politik, dan ekonomi mengingat hukum merupakan produk bersama DPR (sekumpulan politisi) dengan pemerintah, walaupun sudah ada political will (kemauan politik) dari pemerintah untuk mengedepankan supremasi hukum, namun hal tersebut belumlah cukup dan mungkin hanya akan menjadi jargon-jargon politik, untuk itu diperlukan political action (aksi politik) yang nyata di lapangan, yang tentunya hal ini akan mendapat dukungan dari seluruh lapisan masyarakat. Namun mengingat pemerintahan SBY jilid II dibentuk merupakan kualisi partai politik, rasanya lima tahun kedepan sulit bagi kita untuk mengatakan hukum menjadi panglima atau istilah sosiologi hukumnya, hukum baik secara yuridis dan empiris tidak mengalami pertentangan dalam pelaksanaan di masyarakat.

Korupsi sebagai musuh bersama, tetap akan ada. Kita tetap akan dipertontonkan keberhasilan aparat penegak hukum dalam menangkap koruptor, namun jangan banyak berharap para koruptor yang bersembunyi di ketiak penguasa akan tersentuh hukum, kecuali ada keberanian dari pemerintahan saat ini bahwa pemberantasan korupsi di negeri tanpa tebang pilih. Adnan Buyung mengatakan "Dalam Negara hukum yang dianut Indonesia sekarang ada kecenderungan terjadi pergeseran kearah formal legalitas, tanpa melihat substansinya.

E. Kesimpulan

Korupsi adalah upaya campur tangan menggunakan kemampuan yang didapat dari posisinya untuk menyalahgunakan informasi, keputusan, pengaruh, uang atau kekayaan demi kepentingan keuntungan dirinya. Dasar Hukumnya adalah Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

TIPIKOR juga menimbulkan masalah tersendiri dalam sosial masyarakat. Seperti yang terjadi pada realita koruptor-koruptor yang dekat dengan kekuasaan dan/atau mempunyai kekuatan politik dan ekonomi (uang) yang kuat sulit sekali untuk disentuh dengan hukum, hal ini tidaklah menghenrankan kita semua mengingat hukum di negeri ini belumlah menjadi panglima tapi hukum hanyalah sebagai posisi tawar menawar (bargaining position) dalam politik ekonomi dan kekuasaan sehingga terjadi tebang pilih dalam kasus korupsi ketika diproses hukum.

Unsur-unsur TIPIKOR terdapat dalam Undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.

Berkaitan hukum acara penyelesaian korupsi sebelum berlakunya Undang-Undang No. 46 Tahun 2009 Tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, penyelesaian perkara korupsi dilakukan oleh Pengadilan Umum dan Pengadilan Khusus Korupsi yg dibentuk berdasarkan Pasal 53 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002, tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

Adam Malik
Pendiri https://www.situshukum.com yang sudah bergelar S.H namun juga gemar dengan dunia Teknologi. Salam Kenal!

Related Posts

Post a Comment

Subscribe Our Newsletter