Teori Pemidanaan dan Teori Penanggulangannya

Post a Comment

Teori Pemidanaan dan Teori Penanggulangannya

Situs Hukum -
Setelah sebelumnya kita sudah membahas mengenai stelsel pidana secara lengkap dan komprehesif, maka saatnya kini kita masuk ke pembahasan lanjutan yaitu mengenai materi tentang "Teori Pemidanaan dan Teori Penanggulangannya".

Adakah diantara kalian yang sudah mengerti mengenai judul pembahasan kita kali ini?

Jika ada yang sudah paham dan pernah memperlajarinya, mari kita ulang lagi agar lebih mengingatnya. Bagi yang belum paham, mari simak ulasan lengkapnya di bawah ini.

A. Teori Pemidanaan

Penerapan sanksi pidana dalam arti umum merupakan bagian asas legalitas, yang berbunyi: nullum delictum, nulla poena, sine preavia lege poenali. Suatu poena atau pidana diperlukan adanya undang-undang terlebih dahulu.

Peraturan tentang sanksi yang ditetapkan oleh pembentuk undang-undang, memerlukan perwujudan dari badan atau instansi dengan alat-alat yang secara nyata dapat merealisasikan aturan pidana itu.

Infrastruktur penintensier ini diperlukan untuk mewujudkan pidana tersebut, dan bilamana badan ini secara hukum dan organisatoris telah siap maka badan ini sebagai pendukung stelsel sanksi pidana.  

Dalam sejarah perkembangan RKUHP di Indonesia, persoalan penetapan sanksi (bentuk-bentuk pidana) mengalami beberapa kali perubahan. Tercatat terdapat lebih dari delapan konsep RKUHP yang dalam beberapa konsepnya mempunyai persamaan namun juga terdapat beberapa perbedaan.

Hal ini menunjukkan bahwa konsep pemidanaan dan penetapan sanksi dalam RKUHP selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu.

Adanya perubahan yang cukup mendasar dari konsep awal sampai dengan konsep yang terakhir menunjukkan bahwa persoalan pemberian sanksi dalam RKUHP selalu disesuaikan dengan perkembangan kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Barda Nawawi Arief dan Muladi menyatakan, bahwa hubungan antara penetapan sanksi pidana dan tujuan pemidanaan adalah titik penting dalam menentukan strategi perencanaan politik kriminal. Menentukan tujuan pemidanaan dapat menjadi landasan untuk menentukan cara, sarana atau tindakan yang akan digunakan.

Menurut Sudarto, perkataan pemidanaan itu adalah sinonim dengan perkataan penghukuman, di mana penghukuman itu berasal dari kata dasar ”hukum”, sehingga dapat diartikan sebagai menerapkan hukum atau memutuskan tentang hukum, khususnya untuk suatu peristiwa pidana.

Penghukuman dalam hal ini mempunyai makna yang sama dengan "sentence atau veroordeling”. 

Berdasarkan pendapat di atas, disimpulkan bahwa pemidanaan adalah menetapkan atau memutuskan sesuatu hukuman terhadap seseorang yang telah melakukan tindak pidana.

Pemidanaan berhubungan erat kehidupan seseorang di dalam masyarakat, terutama menyangkut kepentingan yang paling berharga bagi kehidupan masyarakat, yaitu nyawa, kemerdekaan dan  kebebasan.

Dalam hal ini Sudarto mengemukakan:

Pidana tidak hanya dirasa pada waktu menjalani tetapi sesudah orang-orang yang dikenai itu bebas ia masih merasakan akibatnya yang berupa cap oleh masyarakat, bahwa ia pernah berbuat jahat. Cap ini dalam ilmu pengetahuan disebut stigma.

Jadi orang tersebut mendapat stigma dan kalau itu tidak hilang, ia seolah-olah di pidana seumur hidup. 

Jadi pemidanaan sangat erat hubunganya dalam kehidupan seseorang di dalam masyarakat sehingga hukum pidanalah yang paling banyak hubungannya dengan kehidupan sehari-hari.

Selanjutnya menurut Van Hamel seperti yang dikutip oleh Lamintang yang dimaksud dengan pemidanaan yaitu :

Pemidanaan adalah suatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai penanggung jawab dari ketertiban hukum umum bagi seorang pelanggar, yakni semata-mata karena orang tersebut telah melanggar suatu peraturan hukum yang harus ditegakkan oleh negara.

Penjatuhan pidana atau hukuman dimaksudkan untuk menjamin keamanan dan ketertiban. Edwin Sutherland yang dikutip Soedjono D, menyatakan bahwa alasan negara melakukan atau menjatuhkan hukuman terhadap pelaku tindak pidana adalah karena :

  1. Hukuman dijatuhkan dengan dasar harus menunjukkan dan mendukung perbuatan atau tindakan mempertahankan tata tertib dalam masyarakat.
  2. Hukuman harus dapat mencegah terjadinya perbuatan-perbuatan yang dapat menimbulkan kekacauan.
  3. Negara harus mempertahankan tata tertib masyarakat yang ada.
  4. Negara harus mempertahankan ketentraman dalam masyarakat apabila ketentraman itu dilanggar.  

Dalam hubungannya dengan pemidanaan dikenal 3 teori yaitu:

  1. Teori absolut atau teori pembalasan;
  2. Teori relatif atau teori tujuan;
  3. Teori gabungan.

1. Teori Absolut atau Teori Pembalasan

Menurut teori-teori ini, setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana, tidak boleh tidak, tanpa tawar-menawar. Seorang dapat dipidana karena telah melakukan kejahatan. Tidak dilihat akibat-akibat apapun yang mungkin timbul dari dijatuhkannya pidana.

Tidak dipedulikan, apa dengan demikian masyarakat mungkin akan dirugikan. Hanya dilihat ke masa lampau, tidak dilihat ke masa depan.

Kegiatan pembalasan, atau disebut juga sebagai vergelding yang menurut banyak orang dijelaskan sebagai alasan untuk mempidana suatu kejahatan. Kepuasan hati yang dijadikan suatu ukuran, tetapi faktor lainnya kurang diperhatikan.

Apabila ada seorang oknum yang langsung kena dan menderita karena kejahatan itu, maka "kepuasan hati" itu terutama ada pada si oknum itu. Dalam hal pembunuhan, kepuasan hati ada pada keluarga si korban khususnya dan masyarakat umumnya.

Dengan meluasnya kepuasan hati ini pada sekumpulan orang, maka mudah juga meluasnya sasaran dari pembalasan kepada orang-orang lain dari si penjahat, yaitu pada sanak keluarga atau kawan-kawan karib.

Maka unsur pembalasan, meskipun dapat dimengerti, tidak selalu dapat tepat menjadi ukuran untuk penetapan suatu pidana. 

Menurut Adami Chazawi, tindakan pembalasan di dalam hukum pidana mempunyai dua arah yaitu:

  1. Ditujukan kepada penjahatnya (Subjektif dari pembalasan);
  2. Ditujukan untuk memenuhi kepuasan dari perasaan dendam di kalangan masyarakat (sudut objektif dari pembalasan).

2. Teori Relatif atau Teori Tujuan

Dasar dari teori relatif atau tujuan bahwa pidana adalah alat untuk menegakkan tata tertib (hukum). Jadi tujuan pidana adalah tata tertib dan untuk menegakkan tata tertib itu diperlukan pidana.

Adami Chazawi mengemukakan dua sifat pencegahan teori tujuan ini, yaitu: 

1. Pencegahan Umum

Teori pencegahan umum ini bertujuan untuk menakuti orang agar tidak melakukan kejahatan. Menurut teori ini, pidana yang dijatuhkan pada penjahat ditujukan kepada umum agar anggota masyarakat takut untuk melakukan kejahatan dengan mempertontonkan kepada masyarakat suatu hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana sehingga masyarakat tidak meniru dan melakukan perbuatan yang serupa dengan penjahat tersebut.

2. Pencegahan Khusus

Berdasarkan teori pencegahan khusus ini, tujuan pemidanaan adalah mencegah pelaku kejahatan yang telah dipidana agar ia tidak mengulang lagi melakukan kejahatan, dan mencegah agar orang yang telah berniat buruk untuk tidak mewujudkan niatnya melakukan lagi kejahatan.

Tujuan tersebut dapat dicapai dengan jalan menjatuhkan pidana, yang sifatnya ada tiga macam, yaitu:

  1. Menakuti si pelaku;
  2. Memperbaiki si pelaku;
  3. Membuat si pelaku tidak berdaya.

Menakuti si pelaku maksudnya adalah pidana yang dijatuhkan harus dapat memberi rasa takut bagi orang-orang tertentu yang masih ada rasa takut agar ia tidak lagi mengulangi kejahatan yang dilakukannya.

Walaupun demikian, ada orang-orang tertentu yang tidak lagi merasa takut untuk mengulangi kejahatan yang pernah dilakukannya. Oleh karena itu, pidana yang dijatuhkan terhadap tipe orang seperti ini haruslah bersifat memperbaiki.

Sedangkan bagi orang-orang yang ternyata tidak dapat diperbaiki lagi, maka pidana yang dijatuhkan terhadapnya haruslah bersifat membuatnya menjadi tidak berdaya atau bersifat membinasakan.

3. Teori-Teori Gabungan (Verenigings-Theorien)

Teori gabungan merupakan kombinasi antara teori pembalasan dan teori tujuan yaitu hukuman atas dasar pembalasan maupun pertahanan terhadap tata tertib masyarakat.

Utrecht membagi teori gabungan dalam tiga golongan, yaitu:

  1. Menitikberatkan pembalasan tetapi membalas tidak boleh melampaui batas (apa yang perlu) dan sudah cukup untuk mempertahankan masyarakat.
  2. Menitikberatkan pertahanan tata tertib masyarakat tetapi tidak boleh lebih berat daripada suatu penderitaan yang beratnya sesuai dengan beratnya perbuatan.
  3. Menganggap kedua asas tersebut harus dititikberatkan.

Ketentuan mengenai pemidanaan dalam RKUHP, jika dibandingkan dengan KUHP yang saat ini berlaku mengalami beberapa perubahan mendasar. Bagian mengenai pemidanaan di antaranya berisi tentang tujuan pemidanaan, pedoman pemidanaan dan alasan-alasan mengenai dapat dijatuhkannya pemidanaan bagi pelaku tindak pidana.

Pengaturan ini lebih lengkap dibandingkan dengan ketentuan dalam KUHP yang berlaku saat ini. 

B. Teori Penanggulangan

Barda Nawawi Arief, menyatakan bahwa pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam perumusan tujuan pemidanaan adalah : 

  • Pada hakekatnya undang-undang merupakan sistem hukum yang bertujuan sehingga dirumuskan pidana dan aturan pemidanaan dalam undang-undang, pada hakikatnya hanya merupakan sarana untuk mencapai tujuan.
  • Dilihat secara fungsional operasional, pemidanaan merupakan suatu rangkaian proses dan kebijakan yang konkretasinya sengaja direncanakan melalui tiga tahap.
  • Perumusan tujuan pemidanaan dimaksudkan sebagai "fungsi pengendalian kontrol” dan sekaligus memberikan landasan filosofis, dasar rasionalitas dan motivasi pemidanaan yang jelas dan terarah.

Berdasarkan pada pengaturan tersebut dan dikaitkan dengan pokok-pokok pikiran mengenai perumusan tujuan pemidanaan, beberapa permasalahan yang bisa diajukan adalah keterkaitan antara penetapan sanksi pidana dengan perumusan suatu tujuan pemidanaan atau bagaimana landasan teori pemidanaan dan aliran hukum pidana yang dianut atau yang mendominasi pemikiran dalam kebijakan kriminal dan kebijakan penalnya.

Selanjutnya dalam upaya penanggulangan tindak pidana termasuk dalam hal ini tindak pidana dibidang teknologi dan informatika dalam suatu masyarakat selain dilakukan oleh penegak hukum juga tidak terlepas dari keterlibatan anggota masyarakat itu sendiri.

Dalam perkembangan kriminologi di Indonesia yang menjadi persoalan adalah bahwa pada umumnya masyarakat belum mengetahui apa yang dimaksud dengan menanggulangi kejahatan, padahal pengertian ini sangat penting untuk dapat menanggulangi kejahatan itu sendiri.

Selain masyarakat dituntut untuk ikut serta dalam penanggulangan kejahatan, para penegak hukumpun tidak terlepas dari kewajiban dalam penanggulangan kejahatan sesuai dengan tugas mereka masing-masing.

Sehubungan dengan hal ini Sudarto menjelaskan bahwa pemberantasan kejahatan kalau diartikan secara luas maka banyak pihak yang akan terlibat di dalamnya, antara lain adalah pembentuk undang-undang, pamong praja dan aparatur eksekusi serta orang biasa.

Pada dasarnya penanggulangan kejahatan itu ada dua cara, yaitu tindakan preventif dan tindakan represif.

1. Tindakan Preventif

Tindakan preventif yaitu suatu upaya untuk mencegah agar seseorang tidak melakukan  kejahatan tersebut. Tindakan ini tercakup di dalamnya mencegah bertemunya niat dan kesempatan  seseorang yang hendak melakukan kejahatan. Melalui cara ini diharapkan sedini mungkin dapat menangkal hal dan mencegah kemungkinan timbulnya kejahatan.

Pencegahan kejahatan merupakan tindakan yang melibatkan semua unsur di dalamnya, dan dalam hubungan ini S.M. Amin memberikan komentar tentang tindakan preventif, yaitu:

Tugas preventif ini bermacam-macam corak ragamnya, umpamanya dengan mengadakan patroli di waktu malam hari dengan maksud supaya kaum pencuri tidak mempunyai kesempatan melakukan pencurian, mengatur lalu lintas supaya penyelenggaraan lalu lintas terjamin dan sebagainya.

Sejalan dengan uraian di atas, Sudarto mengatakan bahwa usaha-usaha penanggulangan kejahatan secara preventif sebenarnya bukan Kepolisian saja, lebih lanjut ia mengatakan :

Penanggulangan kejahatan dalam arti umum, secara tidak langsung juga dilakukan tanpa menggunakan sarana pidana atau hukum pidana, misalnya usaha dari Departemen sosial dengan karang tarunanya, Gerakan Pramuka, penggarapan jiwa masyarakat melalui pendidikan agama dan sebagainya akan mempunyai pengaruh baik mengendalikan kejahatan.

Sedangkan kegiatan dari kepolisian bersifat preventif, misalnya patroli secara kontinue.

Oleh karena itu penanggulangan kejahatan secara preventif dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu:

  1. Cara moralistik, dilakukan dengan menyebarluaskan ajaran-ajaran agama dan moral, perundang-undangan yang baik, sarana-sarana lain yang dapat mengekang nafsu seseorang untuk berbuat jahat.
  2. Cara aboliolistik, berusaha menanggulangi kejahatan dengan membarantas sebab musababnya.

Selain tindakan preventif sebagaimana tersebut di atas, supaya pencegahan penyalahgunaan dan peredaran zat-zat berbahaya tersebut dapat dilakukan melalui berbagai jalur:

  • Jalur keluarga;
  • Jalur pendidikan formal dan informal;
  • Jalur lembaga-lembaga sosial swadaya masyarakat;
  • Jalur lembaga keagamaan;
  • Jalur kelompok-kelompok teman bermain remaja/pemuda, club, seni, olah raga, keterampilan-keterampilan lain;
  • Jalur organisasi kewilayahan, dipimpin aparat RT, RW, LKMD;
  • Melalui media masa, cetakan, elektronik, film maupun seni pentas tradisonal. 

2. Tindakan Represif 

Tindakan represif adalah segala tindakan yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum sesudah terjadinya tindak pidana. Sebagai suatu tindakan pemberantasan kejahatan atau tindak pidana, tindakan represif ini dilakukan melalui proses pengadilan yang telah ditentukan, yaitu :

  1. Tahap penyidikan oleh Polri.
  2. Tahap penuntutan dilakukan Jaksa sebagai penuntut umum.
  3. Tahap pemeriksaan di depan sidang pengadilan oleh hakim.
  4. Tahap pelaksanaan putusan pengadilan oleh Jaksa dan lembaga permasyarakatan dengan diawasi oleh Ketua Pengadilan yang bersangkutan.

Tindakan represif dititikberatkan terhadap pelaku tindak pidana, antara lain dengan memberikan pidana. Pemberian pidana ini akan melibatkan aparat penegak hukum secara keseluruhan, mulai dari penyidikan, penuntutan dan peradilan.

Sutherland dan Cressey yang ikutip oleh G.W. Bawengan mengatakan bahwa pencegahan kejahatan dilakukan dengan cara:

a. Merubah mereka yang mungkin dapat dirubah dengan menggunakan teknik tertentu;
b. Mengasingkan mereka yang tidak dapat diperbaiki;
c. Koreksi atau pengasingan terhadap mereka itu yang terbukti gemar melakukan kejahatan;
d. Menghapuskan atau membatasi kondisi masyarakat yang bersifat mendorong ke arah kejahatan. 

Terdapat beberapa syarat yang perlu diperhatikan oleh pemerintahan agar penanggulangan kejahatan dapat lebih berhasil. Syarat-syarat tersebut adalah :

  1. Sistem organisasi Kepolisian yang baik;
  2. Pelaksanaan peradilan yang lebih efektif;
  3. Hukum yang berwibawa;
  4. Pengawasan dan pencegahan kejahatan yang lebih terkoordinir;
  5. Partisipasi masyarakat dalam penggolongan kejahatan

Rangkuman

Pemidanaan adalah menetapkan atau memutuskan sesuatu hukuman terhadap seseorang yang telah melakukan tindak pidana. Tujuan dari pemidanaann adalah untuk menjamin keamanan dan ketertiban dalam masyarakat, dan ini dapat memberikan tekanan jiwa bagi calon pelaku kejahatan untuk merencanakan melanggar undang-undang pidana.

Dalam hubungannya dengan pemidanaan terdapat tiga teori yaitu teori absolut atau teori pembalasan, teori relatif atau teori tujuan dan teori gabungan. Teori absolut pada dasarnya hanya melihat pemidanaan sebagai hal yang mutlak harus dilakukan dan tidak ada tawar menawar untuk tidak memidana si pelanggar.

Teori absolut ini tidak memperdulikan manfaat dari pemidanaan tersebut untuk masa yang akan datang melainkan hanya melihat ke masa lampau saja. Teori tujuan atau toeri relatif melihat bahwa suatu pelanggaran tidak mutlak harus dibalas dengan suatu pemidanaan.

Hal ini disebabkan teori ini melihat manfaat dari pemidanaan bagi masyarakat sehingga tidak hanya melihat masa lampaui namun juga melihat effect dari pemidanaan tersebut ke masa depan. Teori ini lebih menekankan agar pemidanaan tersebut manjadi usaha untuk mencegah tidak terulangnya kejahatan di masa yang akan datang.

Tindakan penangulangan pidana ini ada yang besifat preventif yaitu dilakukan senelum tindak pidana tersebut dilakukan dan bersifat represif yaitu tindakan yang dilakukan oleh aparatur penegak hukum setelah suatu tindak pidana dilakukan.

Bibliografi

  • Solehuddin. 2003. Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
  • Mohammad Taufik Makarao. 2005. Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Studi tentang Bentuk-Bentuk Pidana Khususnya Pidana Cambuk, sebagai Suatu Bentuk Pemidanaan. Kreasi Wacana.
  • Barda Nawawi. 1998. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti.
  • Sudarto. 1991. Hukum Pidana Jilid 1. Semarang: Fakultas Hukum UNDIP.
  • Lamintang, P.A.F. 1990. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Sinar Baru.
  • Adami Chazawi 2002. Pelajaran Hukum Pidana (Bagian I). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
  • Zainal Abidin. 2005. Pemidanaan, Pidana dan Tindakan dalam Rancangan KUHP. Jakarta: Position Paper Advocasi RUU KUHP Seri 3, Elsam.
  • S.M. Amin. 1991. Hukum Acara Peradilan Negeri. Jakarta: Pradya Paramitha.
  • Soesilo. 1988. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politea.
  • G.W.Bawengan. 1974. Pengantar Psikologi Kriminal. Jakarta: Pradya Paramitha.
Anda kini sudah mencapai bagian akhir dalam menuntaskan pembahasan Bab IV (keempat) yang merupakan materi dari mata kuliah Hukum Pidana. Silahkan klik tombol di bawah ini untuk memilih bab selanjutnya. 👇👇👇
Adam Malik
Pendiri https://www.situshukum.com yang sudah bergelar S.H namun juga gemar dengan dunia Teknologi. Salam Kenal!

Related Posts

Post a Comment

Subscribe Our Newsletter