Pengertian Stelsel Pidana dan Jenis-jenis Pidana

Post a Comment
Stelsel Pidana

Situs Hukum - 
Seperti yang telah diketahui, bahwa Hukum Pidana itu dibangun di atas substansi pokok; yaitu : (1) tindak pidana, (2) pertanggungjawaban pidana, dan (3) pidana dan pemidanaan.

Dengan demikian bahasan pidana dan pemidanaan ini adalah merupakan bagian tak terpisahkan dari kedua substansi Hukum Pidana yang telah diuraikan sebelumnya.

Pembahasan pidana dan pemidanaan, akan berkisar pada : (1) stelsel pidana, strafsoort, strafmaat, dan strafmodus, (2) pengertian pidana dalam Hukum Pidana, (3) teori pengenaan pidana, (4) aliran dalam hukum pidana, dan (5) perkembangan Substansi Hukum Pidana dalam rancangan konsep KUHP baru.

Kali ini kita akan fokus pada pembahasan mengenai Stelsel Pidana. Yuk simak!

A. Pengertian Stelsel Pidana

Stelsel pidana terdiri dari: jenis pidana, batas-batas penjatuhan pidana, cara penjatuhan pidana, cara dan di mana penambahan, dan pengecualian penjatuhan pidana.

Pidana berasal dari kata straf (Belanda), yang adakalanya disebut dengan istilah hukuman. Istilah pidana lebih tepat dari istilah hukuman, karena hukum sudah lazim merupakan terjemahan dari recht. Dalam hukum pidana, “pidana” (punishment) merupakan suatu alat berupa penderitaan atau rasa tidak enak bagi yang bersangkutan (terpidana/the punished).

Adanya sanksi pidana pada setiap larangan dalam hukum pidana, disamping bertujuan untuk kepastian hukum (law certainty) dan dalam rangka membatasi kekuasaan negara juga bertujuan untuk mencegah bagi orang yang berniat untuk melanggar hukum pidana (preventive).

B. Jenis-Jenis Pidana

Pasal 10 KUHP mengatur tentang jenis-jenis pidana. Pidana terdiri dari pidana pokok dan pidana tambahan.

Pidana Pokok:
  • a. Pidana mati;
  • b. Pidana penjara;
  • c. Pidana kurungan;
  • d. Denda.
Pidana tambahan terdiri dari:
  • a. Pencabutan hak-hak tertentu;
  • b. Perampasan barang-barang tertentu;
  • c. Pengumuman keputusan hakim.
Berdasarkan Pasal 69 KUHP, untuk pidana pokok, berat atau ringannya bagi pidana yang tidak sejenis didasarkan pada urut-urutannya dalam rumusan Pasal 10 tersebut.

Menurut Adami Chazawi, perbedaan jenis pidana pokok dengan pidana tambahan adalah sebagai berikut:
  1. Penjatuhan salah satu jenis pidana pokok bersifat keharusan (imperatif) sedangkan penjatuhan pidana tambahan sifatnya fakultatif. Apabila dalam persidangan, tindak pidana yang didakwakan oleh jaksa penuntut umum menurut hakim telah terbukti secara sah dan menyakinkan, hakim harus menjatuhkan satu jenis pidana pokok, sesuai dengan jenis dan batas maksimum khusus yang diancamkan pada tindak pidana yang bersangkutan. Menjatuhkan salah satu jenis pidana pokok sesuai dengan yang diancamkan pada tindak pidana yang dianggap terbukti adalah suatu keharusan, artinya imperatif.
    Sementara, menjatuhkan pidana tambahan bukanlah suatu keharusan (fakultatif). Apabila menurut penilaian hakim, kejahatan atau pelanggaran yang diancam dengan salah satu jenis pidana tambahan (misalnya pasal 242 ayat 4 yang diancam dengan pidana tambahan: pencabutan hak-hak tertentu sebagaimana disebutkan dalam Pasal 35) yang didakwakan jaksa penuntut umum telah terbukti, hakim boleh menjatuhkan dan boleh juga tidak menjatuhkan pidana tambahan tersebut. Walaupun dasarnya penjatuhan jenis pidana tambahan itu bersifat fakultatif, tetapi ada juga pengecualiannya, dimana penjatuhan pidana tambahan menjadi bersifat imperatif.
  2. Penjatuhan jenis pidana pokok tidak harus dengan demikian menjatuhkan jenis pidana tambahan (berdiri sendiri), tetapi menjatuhkan jenis pidana tambahan tidak boleh tanpa dengan menjatuhkan jenis pidana pokok.
    Sesuai dengan namanya (pidana tambahan), penjatuhan jenis pidana tambahan tidak dapat berdiri sendiri, lepas dari pidana pokok, melainkan hanya dapat dijatuhkan oleh hakim apabila dalam suatu putusannya itu telah menjatuhkan salah satu jenis pidana pokok sesuai dengan yang diancam pada tindak pidana yang bersangkutan, artinya jenis tambahan tidak dapat dijatuhkan sendiri secara terpisah dengan jenis pidana pokok, melainkan harus bersama dengan jenis pidana pokok.
    Sementara itu, menjatuhkan jenis pidana pokok dapat berdiri sendiri, tanpa harus menjatuhkan jenis pidana tambahan.
    Walaupun jenis pidana tambahan mempunyai sifat yang demikian, ada juga pengecualiannya, yakni di mana jenis pidana tambahan itu dapat dijatuhkan tidak bersama jenis pidana pokok, tetapi bersama dengan tindakan seperti pada Pasal 39 ayat (3) dan Pasal 40.
  3. Jenis pidana pokok yang dijatuhkan, bila telah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewisjde zaak) diperlukan suatu tindakan pelaksanaan (executie).
    Pengecualiannya apabila pidana yang dijatuhkan itu adakah jenis pidana pokok dengan bersyarat (Pasal 14a) dan syarat yang ditetapkan dalam putusan itu tidak dilanggar. Hal ini berbeda dengan sebagian jenis pidana tambahan, misalnya pidana pencabutan hak tertentu sudah berlaku sejak putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
    Di samping sifat-sifat jenis pidana tambahan sebagaimana disebutkan di atas, ada lagi sifat yang merupakan prinsip dasar pidana pokok, yaitu tidak dapat dijatuhkan secara kumulasi. Menurut pembentuk UU, sebagaimana dalam Memorie van Toelichting (MvT) WvS Belanda bahwa menjatuhkan dua jenis pidana pokok secara bersamaan tidak dapat dibenarkan karena pidana perampasan kemerdekaan itu mempunyai sifat dan tujuan yang berbeda dengan jenis pidana denda.

C. Jenis-jenis Pidana Pokok

1. Pidana Mati

Berdasarkan Pasal 69 KUHP, pidana mati adalah pidana yang terberat, yang pelaksanaannya berupa penyerangan terhadap hak hidup bagi manusia, yang sesungguhnya hak ini berada di tangan Tuhan, maka tidak heran sampai saat ini menimbulkan pro dan kontra, bergantung dari kepentingan dan cara memandang pidana mati itu sendiri.

Pembentuk undang-undang pada saat itu telah menyadari akan sifat pidana mati sebagaimana telah diuraikan tersebut. Oleh karena itulah, walaupun pidana mati dicantumkan dalam Undang-undang, namun harus dipandang sebagai tindakan darurat atau noodrecht.

Tiada lain maksudnya agar pidana mati hanya dijatuhkan pada keadaan-keadaan tertentu yang khusus yang dipandang sangat mendesak saja. Oleh karena itu dalam KUHP, kejahatan-kejahatan yang diancam dengan hukuman mati hanyalah pada kejahatan-kejahatan yang dipandang sangat berat saja, yang jumlah sangat terbatas, seperti:
  1. Kejahatan-kejahatan yang mengancam keamanan negara (Pasal 104, 111 ayat 2, 123 ayat 3 jo 129);
  2. Kejahatan-kejahatan pembunuhan terhadap orang-orang tertentu dan atau dilakukan dengan faktor-faktor pemberat, misalnya pasal 140 ayat 3, 340;
  3. Kejahahatan terhadap harta benda yang disertai unsur/faktor yang sangat memberatkan (Pasal 365 ayat 4, 368 ayat 2);
  4. Kejahatan-kejahatan pembajakan laut, sungai, dan pantai (444).
Disamping itu sesungguhnya pembentuk KUHP sendiri telah memberikan semua isyarat bahwa pidana mati tidak mudah untuk dijatuhkan. Menggunakan upaya pidana mati harus dengan sangat hati-hati, tidak boleh gegabah.

Isyarat itu adalah bahwa bagi setiap kejahatan yang diancam dengan pidana mati, selalu diancam juga pidana alternatifnya, yaitu pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara terbatas maksimal 20 tahun.

Dengan disediakannya hukuman alternatif, maka bagi hakim tidak selalu harus selalu menajtuhkan hukuman mati bagi kejahatan-kejahatan yang diancam dengan pidana mati tersebut.

Berdasarkan kebebasan hakim, ia bebas dalam memilih apakah akan menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup atau penjara sementara waktu, begitu juga mengenai berat ringannya apabila hakim memilih pidana penjara sementara, bergantung dari banyak faktor yang dipertimbangkan dalam peristiwa kejahatan yang terjadi secara konkrit.

Pembentuk undang-undang menetapkan adanya pidana alternatif bagi setiap pidana mati yang diancam dalam rumusan kejahatan dengan pertimbangan bahwa bagi setiap tindak pidana yang diancam dengan pidana mati tersebut, dapat saja terjadi dalam keadaan-keadaan tertentu dan atau didorong oleh faktor-faktor tertentu yang bersifat meringankan.

Oleh karena itu jika menurut rasa keadilan hakim tidak patut untuk dipidana mati, ia dapat menjatuhkan pidana lain sebagai alternatif.

Pelaksanaannya hukuman mati dilakukan dengan cara ditembak oleh regu penembak sampai mati, yang pelaksanaannya telah ditetapkan secara rinci dalam Undang-undang Nomor 2/PNPS Tahun 1964.

2. Pidana Penjara

Penjara adalah suatu tempat yang khusus dibuat dan digunakan para terhukum (the sentenced) dalam menjalankan hukumannya sesuai dengan putusan hakim. Penjara yang ada sekarang kebanyakan merupakan peninggalan penjajah.

Pemerintah Indonesia mengubah fungsi penjara menjadi Lembaga Pemasyarakatan artinya para terhukum ditempatkan bersama dan proses penempatan serta kegiatannya sesuai jadwal sejak terhukum masuk lembaga di samping lamanya menjalani hukuman itu.

Kegiatan sehari-hari dilakukan secara terstruktur serta kewajiban mengikuti bimbingan mental rohaniah dan ketrampilan.

Terhukum selama menjalankan hukuman ada yang seumur hidup dan ada yang terbatas (Pasal 12). Hukuman terbatas itu sekurang-kurangnya satu hari dan selama-lamanya lima belas tahun.

Kalau ada hukuman yang lebih dari lima belas tahun dan kurang dari dua puluh tahun sebagai akibat dari tindak pidana yang dilakukan diancam dengan hukuman mati, seumur hidup atau ada hukuman plus karena rangkaian kejahatan yang dilakukan (Pasal 52).

3. Pidana Kurungan

Dalam beberapa hal kurungan adalah sama dengan hukuman penjara, yaitu:
  1. Sama, berupa hukuman hilang kemerdekaan bergerak.
  2. Mengenal hukuman maksimum, maksimum khusus dan minimum, dan tidak mengenal minimum khusus.
  3. Orang yang dipidana kurungan dan pidana penjara diwajibkan untuk menjalani pekerjaan tertentu walaupun narapidana kurungan lebih ringan daripada narapidana penjara.
  4. Tempat menjalani pidana penjara sama dengan tempat menjalani pidana kurungan walaupun ada sedikit perbedaan, yang harus dipisahkan (Pasal 28).
  5. Pidana kurungan dan pidana penjara mulai berlaku apabila terpidana tidak ditahan, yaitu pada hari putusan hakim (setelah mempunyai kekuatan hukum tetap) dijalankan/dieksekusi, yaitu pada saat pejabat kejaksaan mengeksekusi dengan cara melakukan tindakan paksa memasukkan terpidana ke dalam Lembaga Pemasyarakatan.
Akan tetapi, apabila pada saat putusan dibacakan, terpidana kurungan maupun penjara sudah berada dalam tahan sementara sehingga putusan itu mulai berlaku pada hari ketika putusan itu mempunyai kekuatan hukum yang tetap (in kracht).

Putusan hakim mempunyai kekuatan hukum yang tetap apabila:
  1. Putusan diterima baik oleh terpidana maupun oleh jaksa penuntut umum ketika putusan itu dibaca dimuka sidang yang terbuka untuk umum;
  2. Apabila ketika putusan dibaca, terpidana atau jaksa penuntut umum menyatakan masih mempertimbangkan dan dalam tenggang waktu tujuh hari tidak menyatakan sikapnya, putusan itu menjadi mempunyai kekuatan hukum tetap setelah lewat waktu tujuh setelah hari putusan dibacakan.
Menurut ketentuan Pasal 33 ayat (1) hakim berwenang untuk mempertimbangkan masa tahanan sementara sebagai bagian dari lamanya masa pidana yang dijalankan, yang dalam praktik hukum selama ini selalu diberlakukan karena masa tahanan sementara menjadi lama berhubung penyelesaian perkara pada umumnya membutuhkan waktu yang cukup lama.

Perbedaan penting antara pidana kurungan dengan pidana penjara ialah bahwa orang dikenakan pidana dapat dipindahkan kemana saja untuk menjalani pidananya, sedangkan yang dipidana kurungan tanpa persetujuannya tidak dapat dipindahkan ke luar daerah dimana ia bertempat tinggal pada waktu ia dijatuhi pidana.

Perbedaan kedua ialah berupa pekerjaan yang lebih ringan, hak orang dipidana kurungan untuk memperbaiki keadaannya atas biaya sendiri. Hak inilah yang sering disebut dengan pistole.

Adapun minimum hukum kurungan adalah satu hari, sedangkan maksimal hukuman kurungan adalah satu tahun. Waktu satu tahun dapat dinaikkan menjadi paling lama satu tahun empat bulan, dalam hal perbarengan, pengulangan, dan yang ditentukan dalam Pasal 52 dan 52 a. Ternyata dewasa ini pidana kurungan jarang diterapkan.

4. Pidana Denda

Terhadap pidana denda, undang-undang tidak menentukan maksimal umum, hanya minimalnya yang ditentukan yaitu dua puluh lima sen. Tidak ditentukannya dengan tegas siapakah yang harus membayar.

Jika denda tidak dibayar, dapat diganti dengan hukuman kurungan pengganti denda atau kurungan subsidair. Pidana denda pada saat ini mustahil untuk diterapkan oleh hakim karena dendanya belum disesuaikan dengan nilai uang sekarang.

Menurut aturan yang berlaku, siterhukum bebas memilih apakah ia akan membayar atau tidak. Biarpun ia mampu membayar, ia dapat memilih untuk menjalani hukuman kurungan pengganti denda.

Lamanya pidana kurungan pengganti denda, ditentukan dalam putusan. Minimal umum kurungan pengganti denda adalah satu hari dan masimal enam bulan (Pasal 30 ayat (3)). Maksimal hukuman dapat dinaikkan sampai delapan bulan dalam hal perbarengan, pengulangan atau seperti yang ditentukan dalam Pasal 52 dan 52 a (Pasal 30 ayat (3)).

Mengenai penentuan lamanya waktu, dalam jangka waktu mana denda harus dibayar, diserahkan kepada kebijaksanaan pegawai yang menjalankan putusan. ini dimulai dengan penentuan waktu selama dua bulan, jangka waktu ini dapat diperpanjang sampai paling lama satu tahun. 

5. Pidana Tambahan

Pidana tambahan dapat dijatuhkan hanyalah bersama-sama dengan pidana pokok. Berbeda dengan penjatuhan pidana pokok, penjatuhan pidana tambahan ini pada dasarnya fakultatif. Jadi pidana ini dapat dapat dijatuhkan dalam hal-hal yang ditentukan oleh undang-undang, tetapi tidaklah harus.

Apabila undang-undang memungkinkan dijatuhkannya pidana tambahan, maka hakim harus selalu mempertimbangkan, apakah dalam perkara yang dihadapinya itu dipandang perlu atau sebaliknya dijatuhkan pidana tambahan itu.

Tentu saja beberapa pengecualian, yaitu pidana tambahan ini imperatif, seperti: Pasal 250 bis, 261 dan 275 KUHP. Pidana tambahan itu adalah pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang-barang tertentu, dan pengumuman putusan hakim.

D. Pidana Bersyarat 

Pidana bersyarat adalah suatu sistem penjatuhan pidana tertentu (penjara, kurungan, denda) dimana ditetapkan dalam amar putusan bahwa pidana yang dijatuhkan tidak perlu dijalankan dengan pembebanan syarat-syarat tertentu.

Pasal 14a ayat (4) KUHP menyatakan bahwa pidana bersyarat (conditional punishment) dapat dijatuhkan hanyalah apabila hakim menyelidiki dengan teliti lalu mendapat keyakinan bahwa akan diadakan pengawasan yang cukup terhadap dipenuhinya syarat-syarat yang umum, yaitu:

Bahwa terpidana tidak akan melakukan perbuatan pidana dan tidak akan melanggar syarat-syarat yang khusus, jika hal ini diadakan.

Selanjutnya ayat terakhir Pasal 14a mengharuskan hakim supaya dalam putusannya menyatakan keadaan atau alasan mengapa dijatuhkan pidana bersyarat.

Pidana yang dijatuhkan adalah pasti, hanya saja pidana yang dijatuhkan itu tidak akan dijalankan jika dipenuhi syarat-syarat yang tertentu, sebaliknya pidananya tetap akan dijalankan jika syarat-syarat itu tidak dipenuhi.

Syarat-syarat tertentu dalam pidana bersyarat dibagi dua ada syarat umum dan syarat khusus. Syarat umum bersifat imperatif dan harus ditetapkan oleh hakim bahwa dalam tenggang waktu tertentu terpidana tidak melakukan tindak pidana.

Sedangkan syarat khusus bersifat fakultatif yaitu tidak ada keharusan untuk membayar kerugian dalam tenggang waktu yang lebih pendek dari masa percobaan dan yang berhubungan dengan kelakuan terpidana.

E. Pelepasan Bersyarat

Pelepasan bersyarat adalah bagian terakhir dari putusan pidana tidak dijalankan. Tetapi untuk melaksanakan ini terlebih dahulu haruslah dipenuhi beberapa syarat. Sebagai syarat mutlak yang pertama adalah terpidana harus telah menjalani 2/3 dari pidananya.

Lamanya pidana yang telah dijalani sedikitnya 9 bulan. Didalamnya tidak termasuk waktu dalam tahanan, tetapi hanya waktu yang dijalani sebagai pidana saja. Jadi pelepasan bersyarat tidak mungkin diadakan terhadap pidana seumur hidup sebab 2/3 dari seumur hidup itu tidak dapat diperhitungkan.

Jika terpidana seumur hidup akan dikenakan pelepasan bersyarat, maka jalan yang dapat ditempuh melalui pemberian grasi, sehingga pidana seumur hidup dijadikan pidana penjara sementara waktu.

Barulah kemudian diadakan pelepasan bersyarat. Mereka yang tidak berkelakuan baik tidak akan diberikan pelepasan bersyarat.

Pelepasan bersyarat terdiri dari syarat umum dan khusus. Isi syarat umum ialah terhukum tidak akan melakukan perbuatan pidana atau berkelakuan tidak baik lainnya. Yang dimaksud dengan berkelakuan tidak baik.

Misalnya: hidup yang tidak teratur atau bermalas-malasan, bergaul dengan orang yang tidak baik. Syarat khusus, harus mengenai kelakuan terhukum dan ini tidaklah merupakan keharusan, artinya boleh diadakan dan boleh ditiadakan, karena itulah maka syarat-syarat ini diadakan berbeda-beda menurut kejadian masing-masing.

Lembaga Pemasyarakatan yang mengusulkan pada Menteri Hukum dan HAM bagi seseorang selain karena dinilai telah berkelakuan baik selama pembinaan, dan telah memenuhi syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 15 ayat (1), untuk mendapatkan keputusan pemberian pembebasan bersyarat, juga didasarkan atas beberapa pertimbangan antara lain:
  1. Sifat tindak pidana yang dilakukan;
  2. Pribadi dan riwayat hidup narapidana;
  3. Kelakuan narapidana selama pembinaan;
  4. Kemungkinan-kemungkinan untuk mendapatkan pekerjaan setelah ia dibebaskan;
  5. Penerimaan masyarakat di mana ia akan bertempat tinggal.
Apabila seseorang telah diberikan surat keputusan pelepasan bersyarat, maka diberikan maka diberikan masa percobaan yang lamanya lebih satu tahun dari sisa pidana yang belum dijalaninya (Pasal 15 ayat (3)).

Dalam masa percobaan ini narapidana diberikan syarat-syarat tentang kelakuannya setelah ia dilepas. Syarat ini ada dua macam, yaitu syarat umum dan syarat khusus.

Syarat umum berisi keharusan bagi narapidana selama masa percobaan itu tidak boleh melakukan tindak pidana dan perbuatan-perbauatan tercela lainnya. Perbuatan tercela ini tidak harus berupa tindak pidana, artinya pnegertian lebih luas dari tindak pidana. Misalnya pergi bersenang-senang ke tempat pelacuran atau hiburan malam, seperti diskotik, dugem, bergaul dengan penjahat, preman dan lainnya.

Sementara itu syarat khusus adalah segala macam ketentuan perihal kelakuannya, asal saja syarat itu tidak membatasi hak-hak berpolitik dan menjalankan ibadah agamanya.

Selama masa percobaan syarat-syarat khusus bisa diubah, dan dapat juga dicabut, dapat ditetapkan syarat istimewa. Begitu juga dalam masa percobaan, pengawasan dapat diserahkan pada pihak lain yang bersifat istimewa, selain lembaga khusus yang mengawasinya (BAPAS).

Disamping pelepasan bersyarat, keringanan pelaksanaan hukuman dapat juga dilakukan dengan remisi. Remisi adalah pengurangan pelaksanaan pidana yang dapat diberikan pada narapidana, yang biasanya diberikan pada setiap hari ulang tahun kemerdekaan RI dan Hari Keagamaan.

Alasan pemberian remisi adalah yang bersangkutan berkelakuan baik selama menjalani pidana di lembaga Pemasyarakatan.

Bibliografi

  • Adami Chazawi 2002. Pelajaran Hukum Pidana (Bagian I). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
  • Lamintang, P.A.F. 1990. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Sinar Baru.
  • Jonkers. 1987. Hukum Pidana Hindia Belanda (Handboek van het Netherlandsch Indische Strafrecht. Jakarta: Penerjemah Bina Aksara.
  • Moeljatno. 1983. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: PT Bina Aksara.
Anda kini sudah mencapai bagian akhir dalam menuntaskan pembahasan Bab III (ketiga) yang merupakan materi dari mata kuliah Hukum Pidana. Silahkan klik tombol di bawah ini untuk memilih bab selanjutnya. 👇👇👇
Adam Malik
Pendiri https://www.situshukum.com yang sudah bergelar S.H namun juga gemar dengan dunia Teknologi. Salam Kenal!

Related Posts

Post a Comment

Subscribe Our Newsletter