Contoh Kasus Hukum Pidana Internasional
TEMPO - Interaktif, Mazar-e-Sharif – Tujuh pekerja PBB tewas dibunuh di Mazar-e-Sharif, Afganistan. Dua di antaranya dipenggal oleh demonstran yang protes pembakaran Al-Quran di gereja Florida, Amerika Serikat.
Berdasarkan laporan harian The Telegraph, Sabtu (2/4), korban serangan paling keji kepada pekerja PBB itu termasuk lima petugas keamanan dari Nepal, dan pekerja sipil dari Norwegia, Swedia, dan Rumania. Dalam peristiwa itu, selain pekerja PBB, empat penduduk lokal juga ikut terbunuh.
Pejabat PBB kepada Daily Telegraph menyatakan jumlah korban kemungkinan bertambah hingga 20 orang. Dalam peristiwa itu, beredar kabar bahwa seorang Kepala Asisten Militer PBB juga ikut terluka. Namun kabar ini belum dapat dipastikan.
Penduduk setempat menyatakan sekitar 2.000 orang demonstran menyerang penjaga keamanan PBB di luar Unama. Demonstran merampas senjata mereka, lalu menggunakannya untuk menembaki polisi.
Juru bicara Kepolisian menyatakan pendemo memenggal kepala dua penjaga keamanan dan menembak penjaga lainnya. Mereka kemudian mendorong tembok anti-pelindung ledakan untuk menjatuhkan menara keamanan lalu membakar gedung.
Para pendemo mulai berkumpul ketika sejumlah pemimpin agama di masjid di pusat kota mendesak para jemaah meminta PBB mengambil langkah dalam peristiwa pembakaran Al-Quran yang dilakukan pendeta Wayne Sapp di Gainesville Florida pada 20 Maret 2011 lalu.
Sekretaris Jenderal PBB Ban-Ki-Moon menyatakan tindakan para pendemo itu merupakan perilaku yang memalukan dan pengecut. Sementara Presiden Amerika Serikat Barrack Obama mengutuk tindakan itu.
THE TELEGRAPH | AQIDA SWAMURTI
(Tempo-Interaktif: Sabtu, 2 April 2011 | 11.21 WIB)
Analisisnya
Kasus diatas merupakan contoh kasus hukum pidana internasional karena menyangkut warga negara Nepal, Norwegia, Swedia, dan Rumania yang notabene warga negara asing di Afghanistan dengan pendemo yang merupakan warga negara Afghanistan itu sendiri.
Pertanyaan yang muncul adalah negara mana yang berhak mengadili perkara tersebut?
Untuk menentukan negara mana yang berhak mengadili suatu perkara internasional, diciptakanlah asas-asas hukum yang menjelaskan negara yang berhak mengadili suatu perkara internasional, salah satu asas tersebut adalah asas Yurisdiksi Negara.
1. Prinsip Teritorial:
Prinsip ini lahir dari pendapat bahwa sebuah negara memiliki kewenangan absolut terhadap orang, benda dan kejadian-kejadian di dalam wilayahnya sehingga dapat menjalankan yurisdiksinya terhadap siapa saja dalam semua jenis kasus hukum (kecuali dalam hal adanya kekebalan yurisdiksi seperti yang berlaku kepada para diplomat asing).
2. Asas Nasionalitas:
Atau disebut juga “hubungan fundamental antara individu dengan negaranya”. Dalam hukum internasional, hubungan antara individu sebagai warga negara dengan negara adalah sebuah hal yang paling mendasar (fundamental).
Sebuah negara dapat menjalankan yurisdiksi kriminal dan privat terhadap warga negaranya meskipun yang bersangkutan sedang berada di negara lain.
Contoh, di Inggris dalam kasus Joyce v. Director of Public Prosecutions (1946) dan Amerika Serikat dalam kasus Iran Hostages Crisis (1979-1980). Permasalahan akan timbul dalam hal penentuan “kewarganegaraan” yang terkadang cukup rumit.
Dalam Nottebohm Case (1955) ICJ memutuskan bahwa dalam menentukan kewarganegaraan seseorang, pengadilan harus memperhatikan ”genuine connection” yang menunjukkan keterikatan seseorang dengan penduduk sebuah negara. Prinsip ini dikenal dengan effective nationality ataudominant nationality.
3. Asas Personalitas Pasif:
Prinsip ini memberikan hak pelaksanaan yurisdiksi kepada sebuah negara untuk menghukum kejahatan yang dilakukan di luar wilayahnya, oleh pelaku dari warga negara asing, yang korbannya adalah warga negara dari negara tersebut.
Beberapa ahli hukum internasional menganggap pelaksanaan yurisdiksi ini tidak memiliki dasar yang kuat. Hal ini karena membuat pelaku dari kejahatan ini untuk tunduk pada sistem hukum lain yang tidak harus dipatuhinya.
Oleh karena itu, beberapa ahli berpendapat bahwa penerapan prinsip ini hanya terbatas pada kejahatan yang secara umum diakui oleh negera-negara dunia sebagai kejahatan seperti pembunuhan dan pencurian.
Contoh kesulitan dari pelaksanaan Pasive Personality Principle ini adalah sepertitergambar dalam peristiwa pembajakan kapal pesiar Achille Lauro (1985) oleh beberapa orang Palestina yang berakhir diperairan Mesir.
4. Asas Protektif:
Atau biasa juga disebut sebagai yurisdiksi yang timbul berdasarkan adanya kepentingan keamanan sebuah negara. Dalam banyak sistem hukum mengakui bahwa negara-negara memiliki yurisdiksi terhadap kejahatan yang dilakukan oleh orang asing, diluar wilayahnya, yang mengancam keamanan negara tersebut atau mengancam jalannya pemerintahan negara tersebut.
Contoh dari pelaksanaan prinsip ini adalah, kasus United States v. Archer (1943) yang diputuskan bahwa hukum Amerika dapat menghukum warga negara asing yang melakukan perjury terhadap diplomat Amerika di luar negeri.
Contoh lain, Israel di tahun 1972 membuat peraturan perundangan yang memberikan yurisdiksi kepada pengadilan Israel untuk mengadili setiap orang yang melakukan kejahatan di luar negeri yang mengancam keamanan, ekonomi, transportasi atau komunikasi dari negara Israel.
5. Asas Universal:
Berbeda dengan prinsip-prinsip sebagaimana dibahas diatas, dimana harus ada “hubungan” antara kejahatan yang dilakukan dengan negara pelaksana yurisdiksi – prinsip universal tidak membutuhkan hubungan seperti itu.
Prinsip ini didasarkan pada fakta bahwa sebuah negara menjalankan yurisdiksinya karena seseorang berada dalam kekuasaannya (custody), karena melakukan kejahatan berdasarkan hukum nasional negara lain ataupun kejahatan berdasarkan hukum internasional.
Bila seseorang tersebut melakukan kejahatan berdasarkan hukum nasional negara lain, maka sebuah negara hanya dapat menjalankan yurisdiksinya bila negara lain tersebut menolak untuk menjalankan yurisdiksinya.
Pelaksanaan yurisdiksi terhadap kejahatan berdasarkan hukum internasional lebih diterima oleh negara-negara dunia. Hal ini karena beberapa kejahatan yang diatur dalam hukum internasional dapat mengganggu masyarakat internasional secara luas.
Kesimpulan
Menurut saya asas yang paling tepat untuk kasus ini adalah Asas Teritorial, Karena seluruh rangkaian kejadian kasus ini terjadi di Afganistan.
Pelaku kasus ini adalah demonstran yang merupakan warganegara Afganistan, para korban menghembuskan nafas terakhir mereka di Afganistan, kerugian paling signifikan dirasakan oleh Afganistan (meninggalnya 4 penduduk lokal, hancurnya fasilitas umum, dan hangusnya gedung-gedung).
Post a Comment
Post a Comment