Dasar Peniadaan Pidana di Luar Undang-Undang

Post a Comment

Dasar Peniadaan Pidana di Luar Undang-Undang

Situs Hukum -
Segala sesuatu yang telah dibicarakan perihal peniadaan pidana di atas, adalah menurut undang-undang. Diluar undang-undang terdapat pula alasan peniadaan pidana, ialah:

  1. Apa yang disebut dengan kehilangan sifat tercelanya secara materiil (melawan hukum materiil) dari suatu perbuatan atau melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif.
  2. Didasarkan pada asas tiada pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld).

Dasar peniadaan pidana di luar undang-undang yang berhubungan dengan sifat melawan hukum materiil dari suatu perbuatan dalam fungsinya yang negatif, dalam arti mencari ketiadaan unsur melawan hukum di luar undang-undang untuk tidak mempidana suatu perbuatan yang dilakukan seseorang dan bukan mencari adanya unsur melawan hukum di luar undang-undang dalam rangka untuk mempidana suatu pelaku perbuatan tertentu.

1. Hilangnya Sifat Tercela dari Perbuatan Melawan Hukum 

Sebagimana diketahui bahwa undang-undang hanya mempidana seseorang yang melakukan perbuatan, apabila perbuatan itu telah dicantumkan dalam peraturan perundang-undangan, sebagai perbuatan yang dilarang (artinya mengandung sifat tercela/melawan hukum).

Hanya perbuatan yang diberi label tercela atau terlarang saja yang pelakunya dapat dipidana. Pengertian sifat melawan hukum tersebut dinamakan melawan hukum formil, karena semata-mata sifat terlarangnya perbuatan didasarkan pada pemuatannya dalam undang-undang.

Perbuatan lain yang diluar apa yang ditentukan sebagi dilarang oleh undang-undang, walaupun tercela menurut masyarakat atau menurut asas-asas umum maasyarakat atau melawan hukum materiil, sepanjang tidak dilarang menurut peraturan perundang-undangan, tidak lah dapat dipidana.

Hal ini telah ditentukan secara tegas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP tentang apa yang dikenal dengan asas legalitas.

Perbutan yang mengandung sifat tercela menurut masyarakat yang tidak tercela menurut undang-undang tidaklah dapat dipidana.

Tetapi sebaliknya pada perbuatan yang secara nyata terlarang menurut undang-undang, yang karena sesuatu faktor atau sebab tertentu boleh jadi tidak mengandung sifat tercela atau kehilangan sifat tercelanya menurut masyarakat, maka terhadap si pembuatnya tidak dipidana.

Inilah yang dimaksud dengan sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif.

2. Dasar Peniadaan Pidana karena Ketiadaan Unsur Kesalahan pada si Pembuat

Asas tiada pidana tampa kesalahan telah dianut sejak tahun 1930, hanya si pembuat yang terbukti bersalah saja yang dapat dijatuhi pidana. Kesalahan adalah bagian penting dalam tindak pidana dan demikian juga halnya untukmenjatuhkan pidana.

Jika kesalahan itu tidak ada pada si pembuat dalam suatu perbuatan tertentu, maka berdasarkan asas ini si pembuatnya tidak boleh dipidana.

Ketiadaan kesalahan si pembuat atas perbuatannya terjadi karena ketidaktahuan atau kekeliruan tentang keadaan nyata atau fakta yang ada ketika perbuatan dilakukan.

Contoh pada kasus pengusaha susu, dimana si pengusaha susu mencampur susu dengan air, yang oleh liveransirnya dikirim pada pelanggannya yang menurut ketentuan hukum pidana dilarang.

Liveransirnya tersebut tidak dipidana oleh Hoge Raad dikarenakan dia tidak mengetahui tentang susu yang dikirimkannya ke pelanggannya itu ternyata telah dicampur dengan air oleh si pengusaha. Sesungguhnya arrest HR inilah yang menjiwai asas tiada pidana tanpa kesalahan. 

Mengenai penegakan hukum pidana berlaku prediksi bahwa setiap orang dianggap mengetahui hukum, sehingga si pembuat tidak dapat membela diri dengan alasan bahwa dia tidak mengetahui hukum.

Tetapi dalam praktik ketidaktahuan atau kekeliruan mengenai hukum kadang dapat dijadikan alasan peniadaan pidana.

Contohnya adalah pada kasus seorang pengendara sepeda motor yang sebelum mengendarai motornya itu dia telah datang menghadap pejabat kepolisian yang berwenang untuk mendapatkan informasi selengkapnya tentang surat-surat yang diperlukan untuk mengendarai kendaraan bermotor.

Namun ternyata pejabat itu tidak memberikan informasi yang sempurna, karena polisi itu tidak memberikan keterangan bahwa diperlukan juga surat bukti kewarganegaraan, tidak dipersalahkan dan karenanya tidak dipidana oleh Hoge Raad atas dakwaan mengendarai kendaraan bermotor tanpa kelengkapan surat-surat.

Bibliografi

  • Schaffmeister, D. dkk., Sahetapy (ed). 1995. Hukum Pidana. Yogyakarta: Liberty.
Note: Untuk menuntaskan bab kelima materi mata kuliah Hukum Pidana ini. Silahkan klik tombol berikut untuk lanjut ke sesi berikutnya. 👇👇👇

Adam Malik
Pendiri https://www.situshukum.com yang sudah bergelar S.H namun juga gemar dengan dunia Teknologi. Salam Kenal!

Related Posts

Post a Comment

Subscribe Our Newsletter