Bentuk-bentuk Tindak Pidana Terhadap Kehormatan Beserta Unsurnya

Post a Comment

Tindak Pidana Terhadap Kehormatan

Situs Hukum -
 Setelah mempelajari pokok bahasan ini diharapkan kamu nantinya bisa dan mampu menjelaskan apa saja bentuk-bentuk kejahatan terhadap kehormatan serta unsur-unsur yang terkandung di dalamnya.

A. Menista 

Menista diatur dan diancam oleh Pasal 310 ayat (1) KUHP yang bunyinya: 

"Barang siapa dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang dengan jalan menuduh dia melakukan sesuatu perbuatan tertentu, dengan maksud yang nyata untuk menyiarkan tuduhan itu supaya diketahui umum, dihukum karena salahnya menista, dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500,-."

Berdasarkan rumusan Pasal 310 ayat (1) KUHP, maka unsur-unsurnya adalah sebagai berikut:

  1. Dengan sengaja;
  2. Menyerang kehormatan atau nama baik orang lain;
  3. Menuduh melakukan suatu perbuatan tertentu;
  4. Dengan maksud yang nyata supaya diketahui oleh umum.
Berikut di bawah ini akan kita bahas satu-persatu dari setiap unsur di atas secara lebih detail lagi.

1. Dengan sengaja

Menurut doktrin, sengaja termasuk unsur subjektif yang ditujukan terhadap perbuatan. Artinya pelaku mengetahui perbuatannya ini, pelaku menyadari mengucapkan kata-katanya yang mengandung pelanggaran terhadap kehormatan atau nama baik orang lain.

Jadi dalam hal ini sipelaku menyadari atau mengetahui bahwa kata-kata itu diucapkan dan kata-kata tersebut merupakan kata-kata menista, bukan merupakan bagian dari dolus/opzet bahwa si pelaku bukan mempunyai niat untuk menghina atau menista. Lain halnya kalau pelaku mengucapkan kata-kata tersebut dalam keadaan mabuk atau dalam keadaan bermimpi dimana pelaku berbuat tanpa kesadaran yang wajar. 

2. Menyerang kehormatan atau nama baik orang lain

Kata “menyerang” berarti melanggar. Sebagian ahli mempergunakan “memperkosa” kehormatan dan nama baik.

Kata “nama baik” dimaksudkan sebagai kehormatan yang diberikan oleh masyarakat umum kepada seseorang baik karena perbuatannya atau kedudukannya. Jadi nama baik tersebut dimaksudkan terhadap orang-orang tertentu saja. Misal: Presiden, gubernur, bupati, kiyai, pendeta, dan lain-lain.   

Menista sama dengan menghina yaitu “menyerang kehormatan dan nama baik seseorang, yang diserang itu biasanya merasa malu. Kehormatan yang diserang disini hanya mengenai kehormatan tentang nama baik bukan kehormatan dalam lapangan seksual.

3. Menuduh Melakukan Suatu Perbuatan Tertentu

Kata “perbuatan tertentu” sebagai terjemahan dari kata Bahasa Belanda bepaald feit dalam arti bahwa perbuatan yang dituduhkan tersebut dinyatakan dengan jelas, baik tempat maupun waktunya.

Jika tidak jelas disebut waktu dan tempat perbuatan tersebut maka perbuatan pelaku tersebut adalah penghinaan biasa misalnya engkau bohong, kau pencuri, kau pemeras dan lain-lain. 

4. Dengan Maksud yang Nyata Supaya Diketahui Oleh Umum

Unsur ini dalam penerapannya memerlukan kecermatan karena harus dapat dibuktikan “maksud nyata untuk menyiarkan…”, misalnya :

  • Diberitakan kepada satu orang di hadapan umum dengan suara yang dapat didengar oleh orang lain;
  • X dan Y bertengkar, dimana Y dengan suara lantang yang dapat didengar oleh banyak orang, menuduh X telah melakukan pencurian di rumah B pada hari senin yang lalu.

B. Menista Secara Tertulis

Penistaan tertulis diatur dan diancam oleh Pasal 310 ayat (2) KUHP yang bunyinya sebagai berikut :

“Kalau hal itu terjadi dengan surat atau gambar yang disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan, maka pembuat karena salahnya menista dengan surat, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya satu tahun empat bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 4.500.-“

Berdasarkan rumusan Pasal 310 ayat (2) maka menista dan menista dengan tulisan bedanya adalah bahwa menista dengan tulisan dilakukan dengan tulisan atau gambar sedang unsur-unsur lainnya tidak berbeda.

“Disebar” atau disiarkan mengandung arti bahwa tulisan atau gambar tersebut, lebih dari satu helai atau satu eksemplar.

“Dipertunjukkan” dimaksud bahwa tulisan atau gambar, tidak perlu jumlah banyak tetapi dapat dibaca atau dilihat orang lain. Kata-kata “disiarkan, dipertunjukkan atau ditempelkan” semua bermakna agar dapat dibaca atau dilihat orang lain. Jika suatu gambar ditempel diruangan tertutup maka hal itu bukan dimaksudkan untuk diketahui orang lain, atau dipertunjukkan untuk umum karena ruangan tertutup berarti tidak dapat dimasuki setiap orang atau umum. 

Terhadap pelanggaran Pasal 310 ayat (1) dan ayat (2) KUHP dimuat pengecualian sebagai “alasan untuk tidak dapat dihukum” meskipun telah berbuat suatu perbuatan menista atau menista dengan surat. Hal ini diatur oleh ayat (3) Pasal 310 KUHP yang bunyinya sebagai berikut:

“Tidak dapat dikatakan menista atau menista dengan surat jika nyata perbuatan itu dilakukan untuk mempertahankan kepentingan umum atau karena terpaksa untuk mempertahankan diri”

Rumusan Pasal 310 ayat (3) KUHP terdapat 2 (dua) versi, khususnya terhadap “mempertahankan kepentingan umum” yang juga dipergunakan istilah “membela kepentingan umum.” Satochid Kartanegara merumuskan “kepentingan umum” sebagai berikut:

“Bila penuduh menyatakan bahwa tuduhannya itu dilancarkan untuk kepentingan umum, maka ini berarti bahwa kepentingan umum dengan tuduhan itu, diuntungkan.” 

Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, kata “Kepentingan” disinonimkan dengan “Keperluan” dan kata umum, antara lain disinonimkan dengan “orang banyak”khalayak ramai”. Dengan demikian maka kepentingan umum adalah kepentingan atau keperluan orang banyak/khalayak ramai, tetapi kepentingan umum juga dimaksudkan sebagai lawan dari kata “kepentingan individu” atau “kepentingan perorangan”.

Persepsi “membela diri karena terpaksa”, tidak jauh berbeda dengan pengertian noodweer yang diatur Pasal 49 ayat (1) KUHP; bedanya adalah bahwa pada rumusan Pasal 310 ayat (3), hanya berlaku untuk “diri sendiri”. Dengan demikian, maka harus memenuhi syarat-syarat noodweer yakni:

  • Adanya serangan terhadap diri sendiri;
  • Terhadap serangan perlu diadakan pembelaan diri;

Tindak pidana “menista dengan tulisan dapat terjadi dalam berbagai bentuk, antara lain, sebagai berikut:

  1. Menista dengan surat dalam bentuk “surat resolusi”.
  2. Pemimpin redaksi suatu surat kabar harian, yang memuat tulisan yang berisi menista dipersalahkan berdasarkan Putusan Mahkamah Agung tanggal 9 Nopember 1957 Reg. No. 130 K/kr/1956 atas nama Maridi Danoekoesmo, Pemimpin Redaksi “Bintang Timur” Jakarta.
  3. Redaktur suatu surat kabar harian yang memerintah menyuruh memuat suatu karangan yang berisi menista orang lain, dipersalahkan sebagai pelaku dan yang mengarang dipersalahkan sebagai “membantu”.
  4. Tidak dapat dikatakan “menista”, jika hal tersebut dimuat dalam kontra memori banding karena surat kontra memori banding, tidak disiarkan untuk umum.

C. Memfitnah (Defamation)

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “fitnah” diartikan sebagai ”perkataan yang dimaksud menjelekkan orang…”.

Dalam ilmu hukum pidana, fitnah adalah menista atau menista dengan surat/tulisan tetapi yang melakukan perbuatan itu, diizinkan membuktikannya dan ternyata, tidak dapat membuktikan.

Fitnah diatur dalam Pasal 311 ayat (1) KUHP yang bunyinya sebagai berikut :

"Barangsiapa melakukan kejahatan menista atau menista dengan surat, dalam hal ia diizinkan membuktikan kebenaran tuduhannya itu dihukum karena salahnya fitnah dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun, jika ia tidak dapat membuktikan kebenaran itu dan jika tuduhan itu dilakukannya sedang diketahuinya tidak benar."

Berdasarkan ketentuan Pasal 311, jika apa yang dituduhkan ternyata tidak benar, maka tidak dapat disalahkan menista lagi akan tetapi dikenakan perbuatan memfitnah.

Hal ini diatur dalam Pasal 312 KUHP yang bunyinya sebagai berikut:

Pembuktian kebenaran tuduhan itu hanya diizinkan dalam hal yang berikut :

  1. Kalau hakim memandang perlu untuk memeriksa kebenaran itu supaya dapat menimbang perkataan terdakwa bahwa ia melakukan perbuatan itu untuk mempertahankan kepentingan umum atau karena terpaksa untuk mempertahankan diri;
  2. Kalau seorang pegawai negeri dituduh melakukan perbuatan dalam menjalankan jabatannya.

Berdasarkan Pasal 312, izin untuk membuktikan ditetapkan oleh hakim dalam hal : 

  • untuk kepentingan umum;
  • untuk mempertahankan diri;
  • yang difitnah adalah pegawai dalam menjalankan tugasnya.

Rumusan Pasal 314 KUHP adalah hal yang logis guna menciptakan kepastian hukum karena pemisahan penanganan antara fitnah dengan perbuatan yang dituduhkan dapat menimbulkan keragu-raguan atas kepastian hukum. Dengan rumusan Pasal 314 KUHP maka hal tersebut dapat dicegah.

D. Penghinaan Ringan 

Menurut doktrin, penghinaan ringan adalah bentuk ke-4 dari tindak pidana terhadap kehormatan. Perbedaan penghinaan ringan dengan menista atau menista dengan surat adalah bahwa pada penulisan (lisan/tertulis), dilakukan dengan cara menuduh melakukan perbuatan tertentu. 

Berdasarkan rumusan Pasal 315 KUHP, maka unsur-unsurnya adalah sebagai berikut : 

  1. Penghinaan
  2. Sengaja
  3. Tidak bersifat menista atau menista dengan surat
  4. Dimuka umum dimuka orang itu sendiri

E. Fitnah Dengan Pengaduan

Fitnah dengan pengaduan sebagian pakar menerjemahkan dengan “pemberitahuan fitnah” dan sebagian lagi menerjemahkan dengan “mengadu dengan fitnah”. 

Jika diterjemahkan kata aanklacht berarti pengaduan atau  mengadu. Pemberitahuan dalam bahasa Belanda adalah aangifte. Dengan demikian, lebih tepat “fitnah dengan pengaduan” karena jika “mengadu dengan fitnah” yang menjadi masalah utama adalah mengadu sedang dalam masalah ini yang dipersalahkan adalah fitnah atau penghinaan.

Fitnah dengan pengaduan diatur Pasal 317 KUHP. Kata ”pembesar negeri” dalam rumusan Pasal 317 ayat (1) KUHP merupakan terjemahan dari overheid (bahasa Belanda) yang artinya adalah ”penguasa” yang juga diterjemahkan dengan aparat negara atau aparat pemerintah.

Untuk lebih memahami ”fitnah dengan pengaduan” perlu diamati unsur-unsurnya yakni sebagai berikut : dengan sengaja menyampaikan pengaduan atau laporan palsu disampaikan kepada penguasa, tentang orang tertentu dan menyerang kehormatan.

H. Fitnah Dengan Perbuatan

Fitnah dengan perbuatan diatur dalam Pasal 318 KUHP yang bunyinya sebagai berikut : 

"Barangsiapa sengaja dengan suatu perbuatan, menyebabkan orang lain dengan palsu tersangka membuat tindak pidana hukum, karena salahnya memfitnah dengan perbuatan dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun.”

Berdasarkan rumusan Pasal 318 KUHP maka unsur-unsurnya adalah sebagai berikut: 

  1. Dengan sengaja;
  2. Melakukan suatu perbuatan;
  3. Menyebabkan kesangkaan palsu;
  4. Seolah-olah orang tersebut telah melakukan tindak pidana.

I. Penistaan Terhadap Orang yang Meninggal

Masyarakat Indonesia yang merupakan masyarakat pancasilais dengan unsur pertamanya ”Ke-tuhanan Yang maha esa” menyadari bahwa manusia yang hidup di dunia, tidak sempurna, serba kekurangan baik dari segi materi maupun dari segi perilaku.

Terhadap orang yang sudah meninggal, selaku orang yang beragama dan beriman, tidak ada yang berkenan untuk mengungkit-ungkit kekurangan-kekurangan orang yang telah meninggal. Dirasakan kurang layak, tidak etis jika mengutarakan kekurangan-kekurangan orang yang sudah meninggal. Hal yang demikian merugikan perilaku tercela.

Menurut Leden Marpaung, dalam ilmu hukum pidana, kehormatan dan nama baik, merupakan obyek manusia yang masih hidup. Manusia yang masih hidup memerlukan kehormatan dan nama baik sedang orang yang sudah meninggal pada hakikatnya  tidak memerlukannya. Hal ini merupakan hal yang logis sebab orang yang sudah meninggal tidak memerlukan apa-apa lagi dalam arti tidak memerlukan kepentingan atau kebutuhan.

Oleh karenanya, penghinaan bagi orang yang sudah meninggal merupakan hal yang tidak mungkin. Penghinaan terhadap orang yang sudah meningga dimaksudkan dengan tujuan terhadap ahli waris sedang ahli waris sebagai manusia, berkepentingan untuk melindungi kehormatan dan nama baik keluarganya. 

Penistaan terhadap orang yang sudah meninggal diatur dalam Pasal 320 dan 321 KUHP.

Berdasarkan bunyi Pasal 320 KUHP, maka unsur-unsurnya sebagai berikut:

  • Melakukan suatu perbuatan yang dapat dianggap sebagai menista atau menista dengan surat atau tulisan;
  • Perbuatan itu ditujukan kepada orang yang telah meninggal.

Berdasarkan rumusan pasal 321 KUHP maka unsur-unsurnya adalah sebagai berikut:

  1. Menyebarluaskan atau menyiarkan, mempertunjukkan kepada umum atau menempelkan;
  2. Tulisan atau gambar/lukisan;
  3. Dengan maksud supaya isi tulisan atau gambar itu diketahui oleh umum;
  4. Tulisan atau gambar/lukisan tersebut, menghina atau menista orang yang sudah meninggal.

Bibliografi:

  • Kartanegara, Satochid. Hukum Pidana II Delik-delik Tertentu. Balai Lektur Mahasiswa.
  • Marpaung, Leden. 1997. Kejahatan Terhadap Kehormatan Pengertian dan Penerapannya.  Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
  • Soesilo, R. 1986. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia.
  • Wirjono Prodjodikoro. 1980. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: PT. Eresco.
Anda kini sudah mencapai bagian akhir dalam menuntaskan pembahasan Bab XII (kedua belas) yang merupakan materi dari mata kuliah Hukum Pidana. Silahkan klik tombol di bawah ini untuk memilih bab selanjutnya. 👇👇👇
Adam Malik
Pendiri https://www.situshukum.com yang sudah bergelar S.H namun juga gemar dengan dunia Teknologi. Salam Kenal!

Related Posts

Post a Comment

Subscribe Our Newsletter