Kesengajaan Dan Kealpaan Dalam Hukum Pidana

Post a Comment
Kesengajaan Dan Kealpaan

Situs Hukum -
Hukum pidana positif Indonesia masih menganut pengertian tindak pidana dari Strafbaar Feit WvS Belanda. Konsekuensi dianutnya pengertian tindak pidana yang demikian menjadikan bentuk pertanggungjawaban pidana berupa kesengajaan dan kealpaan menjadi unsur langsung dari tindak pidana.

Hal ini berbeda dengan KUHP negara asing yang memisahkan unsur-unsur tindak pidana, dengan unsur- unsur pertanggungjawaban pidana. Di dalam Hukum Pidana Positif Indonesia, tidak ada satu ketentuanpun yang merumuskan pengertian kesengajaan dan kealpaan. Perumusan kedua hal tersebut baru ditentukan pada Rancangan KUHP di dalam Bab 2 Buku I.

1. Kesengajaan

Seperti yang telah disebutkan diatas bahwa kesengajaan dalam hukum pidana adalah merupakan bagian dari kesalahan. Kesengajaan pelaku mempunyai hubungan kejiwaan yang lebih erat terhadap suatu tindakan (yang terlarang) dibanding dengan kealpaan (culpa).

Karenanya ancaman pidana pada suatu delik jauh lebih berat, apabila adanya kesengajaan daripada dengan kealpaan. Bahkan ada beberapa tindakan tertentu, jika dilakukan dengan kealpaan, tidak merupakan tindakan pidana, yang pada hal jika dilakukan dengan sengaja, ia merupakan suatu kejahatan seperti misalnya penggelapan (pasal 372 KUHP). Merusak barang-barang (Pasal 406 KUHP) dan lain sebagainya.

Lalu apa itu yang disebut dengan kesengajaan? KUHP kita tidak memberi definisi mengenai hal tersebut. Lain halnya dengan KUHP Swiss dimana dalam pasal 18 dengan tegas ditentukan:

Barang siapa melakukan perbuatan dengan mengetahui dan menghendakinya, maka dia melakukan perbuatan itu dengan sengaja”.

Petunjuk untuk dapat mengetahui arti kesengajaan, dapat diambil dari M.v.T. (Memorie van Toelichting), yaitu “Pidana pada umumnya hendaknya dijatuhkan hanya pada barang siapa melakukan perbuatan yang dilarang, dengan dikehendaki dan diketahui”.

Dalam pengertian ini disebutkan bahwa kesengajaan diartikan sebagai : “menghendaki dan mengetahui” (willens en wetens). Artinya, seseorang yang melakukan suatu tindakan dengan sengaja, harus menghendaki serta menginsafi tindakan tersebut dan/ atau akibatnya. Jadi dapatlah dikatakan, bahwa sengaja berarti menghendaki dan mengetahui apa yang dilakukan.

Orang yang melakukan perbuatan dengan sengaja menghendaki perbuatan itu dan disamping itu mengetahui atau menyadari tentang apa yang dilakukan itu dan akibat yang akan timbul daripadanya.

a. Teori-Teori Kesengajaan

Berhubung dengan keadaan batin orang yang berbuat dengan sengaja, yang berisi “menghendaki dan mengetahui” itu, maka dalam ilmu pengetahuan hukum pidana dapat disebut 2 (dua) teori sebagai berikut:

1). Teori Kehendak (Wilstheorie)

Inti kesengajaan adalah kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur delik dalam rumusan undang-undang (Simons dan Zevenbergen).

2). Teori Pengetahuan/Membayangkan (Voorstellingtheorie)

Sengaja berarti membayangkan akan akibat timbulnya akibat perbuatannya; orang tak bisa menghendaki akibat, melainkan hanya dapat membayangkannya. Teori ini menitikberatkan pada apa yang diketahui atau dibayangkan oleh sipelaku ialah apa yang akan terjadi pada waktu ia akan berbuat (Frank).

Terhadap perbuatan yang dilakukan si pelaku kedua teori itu tak ada menunjukkan perbedaan, kedua-duanya mengakui bahwa dalam kesengajaan harus ada kehendak untuk berbuat. Dalam praktek penggunaannya, kedua teori adalah sama. Perbedaannya adalah hanya dalam peristilahannya saja.

b. Bentuk atau Corak Kesengajaan

Dalam hal seseorang melakukan sesuatu dengan sengaja dapat dibedakan ke dalam 3 (tiga) bentuk sikap batin, yang menunjukkan tingkatan dari kesengajaan sebagai berikut:

  1. Kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk) untuk mencapai suatu tujuan (dolus directus). Dalam hal ini pembuat bertujuan untuk menimbulkan akibat yang dilarang.
  2. Kesengajaan dengan sadar kepastian (opzet met zekerheidsbewustzijn atau noodzakkelijkheidbewustzijn). Dalam hal ini perbuatan berakibat yang dituju namun akibatnya yang tidak diinginkan tetapi suatu keharusan mencapai tujuan, contoh Kasus Thomas van Bremenhaven.
  3. Kesengajaan dengan sadar kemungkinan (dolus eventualis atau voorwaardelijk-opzet). Dalam hal ini keadaan tertentu yang semula mungkin terjadi kemudian benar-benar terjadi, contoh: meracuni seorang bapak, yang kena anaknya.

c. Sifat Kesengajaan

Kesengajaan memiliki 2 (dua) sifat, yaitu:

1). Kesengajaan Berwarna (Gekleurd)

Sifat kesengajaan itu berwarna dan kesengajaan melakukan sesuatu perbuatan mencakup pengetahuan si pelaku bahwa perbuatanya melawan hukum (dilarang). Jadi harus ada hubungan antara keadaan batin si-pelaku dengan melawan hukumnya perbuatan.

Dikatakan, bahwa sengaja disini berarti dolus malus, artinya sengaja untuk berbuat jahat. Jadi menurut pendirian yang pertama, untuk adanya kesengajaan perlu bahwa si pelaku menyadari bahwa perbuatannya dilarang. Penganutnya antara lain Zevenbergen, yang mengatakan bahwa:

Kesengajaan senantiasa ada hubungannya dengan dolus molus, dengan perkataan lain dalam kesengajaan tersimpul adanya kesadaran mengenai sifat melawan hukumnya perbuatan.”

Untuk adanya kesengajaan, di perlukan syarat, bahwa pada si pelaku ada kesadaran, bahwa perbuatannya dilarang dan/atau dapat dipidana.

2). Kesengajaan Tidak Berwarna (Kleurloos)

Kalau dikatakan bahwa kesengajaan itu tak berwarna, maka itu berarti bahwa untuk adanya kesengajaan cukuplah bahwa si pelaku itu menghendaki perbuatan yang dilarang itu. Ia tak perlu tahu bahwa perbuatannya terlarang/ sifat melawan hukum. Dapat saja si pelaku dikatakan berbuat dengan sengaja, sedang ia tidak mengetahui bahwa perbuatannya itu dilarang atau bertentangan dengan hukum.

Di Indonesia sendiri menganut kesengajaan tidak berwarna karena di Indonesia menganut doktrin fiksi hukum (seseorang dianggap mengetahui hukum yang ada).

d. Macam Kesengajaan

Dalam doktrin ilmu hukum pidana, kesengajaan (dolus) mengenal berbagai macam kesengajaan, antara lain:

  1. Aberratio ictus, yaitu dolus yang mana seseorang yang sengaja melakukan tindak pidana untuk tujuan terhadap objek tertentu, namun ternyata mengenai objek yang lain.
  2. Dolus premeditates, yaitu dolus dengan rencana terlebih dahulu.
  3. Dolus determinatus, yaitu kesengajaan dengan tingkat kepastian objek, misalnya menghendaki matinya.
  4. Dolus indeterminatus, yaitu kesengajaan dengan tingkat ketidakpastian objek, misalnya menembak segerombolan orang.
  5. Dolus alternatives, yaitu kesengajaan dimana pembuat dapat memperkirakan satu dan lain akbat. Misalnya meracuni sumur.
  6. Dolus directus, yaitu kesengajaan tidak hanya ditujukan kepada perbuatannya, tetapi juga kepada akibat perbuatannya.
  7. Dolus indirectus yaitu bentuk kesengajaaan yang menyatakan bahwa semua akibat dari perbuatan yang disengaja, dituju atau tidak dituju, diduga atau tidak diduga, itu dianggap sebagai hal yang ditimbulkan dengan sengaja. Misalnya dalam pertengkaran, seseorang mendorong orang lain, kemudian terjatuh dan tergilas mobil (dolus ini berlaku pada Code Penal Perancis, namun KUHP tidak menganut dolus ini).

2. Kealpaan (Culpa)

Kealpaan, seperti juga kesengajaan adalah salah satu bentuk dari kesalahan. Kealpaan adalah bentuk yang lebih rendah derajatnya dari pada kesengajaan. Tetapi dapat pula dikatakan bahwa kealpaan itu adalah kebalikan dari kesengajaan, karena bila mana dalam kesengajaan, sesuatu akibat yang timbul itu dikehendaki, walaupun pelaku dapat memperaktikkan sebelumnya. Di sinilah juga letak salah satu kesukaran untuk membedakan antara kesengajaan bersyarat (dolus eventualis) dengan kealpaan berat (culpa lata).

Perkataan culpa dalam arti luas berarti kesalahan pada umumnya, sedang dalam arti sempit adalah bentuk kesalahan yang berupa kealpaan. Alasan mengapa culpa menjadi salah satu unsur kesalahan adalah bilamana suatu keadaan, yang sedemikian membahayakan keamanan orang atau barang, atau mendatangkan kerugian terhadap seseorang yang sedemikian besarnya dan tidak dapat diperbaiki lagi.

Oleh karena itu, undang-undang juga bertindak terhadap larangan penghati-hati, sikap sembrono (teledor), dan pendek kata schuld (kealpaan yang menyebabkan keadaan seperti yang diterangkan tadi). Jadi, suatu tindak pidana diliputi kealpaan, manakala adanya perbuatan yang dilakukan karena kurang penduga-duga atau kurang penghati-hati. Misalnya, mengendari mobil ngebut, sehingga menabrak orang dan menyebakan orang yang ditabrak tersebut mati.

Pengertian kealpaan secara letterlijk tidak ditemukan dalam KUHP, dan berbagai referensi yang kami kumpulan dalam pembahasan ini. Jadi untuk lebih mudah dalam memahami tentang “kealpaan” ada baiknya dikemukakan dalam bentuk contoh simpel seperti tidak memadamkan api rokok yang dibuangnya dalam rumah yang terbuat dari jerami, sehingga membuat terjadinya kebakaran. Tidak membuat tanda-tanda pada tanah yang digali, sehingga ada orang yang terjatuh ke dalamnya, dsb.

Dalam M.v.T (Memorie van Toelichting) dijelaskan bahwa dalam hal kealpaan, pada diri pelaku terdapat:

  • Kekurangan pemikiran (penggunaan akal) yang diperlukan.
  • Kekurangan pengetahuan (ilmu) yang diperlukan.
  • Kekurangan kebijaksanaan (beleid) yang diperlukan.

a. Bentuk-Bentuk Kealpaan

Pada umumnya, kealpaan dibedakan atas:

1). Kealpaan yang Disadari (Bewuste Schuld)

Disini si pelaku dapat menyadari tentang apa yang dilakukan beserta akibatnya, akan tetapi ia percaya dan mengharap-harap bahwa akibatnya tidak akan terjadi

2). Kealpaan yang Tidak Disadari (Onbewuste Schuld).

Dalam hal ini si pelaku melakukan sesuatu yang tidak menyadari kemungkinan akan timbulnya sesuatu akibat, padahal seharusnya ia dapat menduga sebelumnya.

Perbedaan itu bukanlah berarti bahwa kealpaan yang disadari itu sifatnya lebih berat dari pada kealpaan yang tidak disadari. Kerapkali justru karena tanpa berfikir akan kemungkinan timbulnya akibat malah terjadi akibat yang sangat berat.

Van Hattum mengatakan, bahwa “kealpaan yang disadari itu adalah suatu sebutan yang mudah untuk bagian kesadaran kemungkinan (yang ada pada pelaku), yang tidak merupakan dolus eventualis”.

Jadi perbedaan ini tidak banyak artinya. Kealpaan sendiri merupakan pengertian yang normatif bukan suatu pengertian yang menyatakan keadaan (bukan feitelijk begrip). Penentuan kealpaan seseorang harus dilakukan dari luar, harus disimpulkan dari situasi tertentu, bagaimana saharusnya si pelaku itu berbuat.

Adam Malik
Pendiri https://www.situshukum.com yang sudah bergelar S.H namun juga gemar dengan dunia Teknologi. Salam Kenal!

Related Posts

Post a Comment

Subscribe Our Newsletter