[Lengkap] Dasar-dasar Hukum Acara Perdata

Post a Comment

Hukum Acara Perdata

Situs Hukum - Pada artikel kali ini kita akan memasuki ke pembahasan tentang hukum acara perdata. Nanti akan dibahas juga mengenai sub judulnya yakni pengertian hukum acara perdata, sumber hukum acara perdata, asas-asas hukum, proses gugatan, dan lainnya.

Mari kita bahas!

Pengertian Hukum Acara Perdata

Hukum Acara perdata adalah bagian dari hukum perdata dalam arti luas yang terdiri dari hukum perdata material dan hukum perdata formal. Hukum perdata material lebih dikenal dengan sebutan “hukum perdata” adalah keseluruhan peraturan atau norma hukum yang mengatur hubungan hukum antar perorangan yang satu dengan perorangan yang lain, atau hubungan hukum yang mengatur kepentingan pribadi atau individu.

Hukum Acara Perdata juga dinamakan Hukum Perdata Formal yang berfungsi mempertahankan dan melaksanakan hukum perdata material apabila dilanggar.

Hukum Acara Perdata adalah keseluruhan peraturan atau norma hukum yang mengatur tata cara seseorang atau badan pribadi mempertahankan dan melaksanakan hak-haknya di peradilan perdata.

Dengan kata lain hukum acara perdata adalah hukum yang mengatur tata cara bersengketa di peradilan perdata.

Sumber Hukum Acara Perdata

  1. Undang-Undang Dasar R.I. Tahun 1945;
  2. Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman;
  3. Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung;
  4. Undang-Undang No. 49 Tahun 2009 Tentang Peradilan Umum;
  5. Het Herziene Indonesische Reglement (HIR/RIB) untuk Jawa dan Madura;
  6. Rechtsreglement Buitengewesten (Rbg. atau Reglement) untuk luar Jawa dan Madura;
  7. Reglement op de Burgerlijke rechtsvordering (Rv. Reglement/Hukum Acara Perdata) untuk golongan Eropa;
  8. Jurisprudensi;
  9. Praktek hukum sehari-hari sebagai hukum kebiasaan;
  10. Doktrin atau pendapat para ahli hukum.

Asas Hukum Acara Perdata

Asas-Asas Hukum Acara Perdata, antara lain:
  1. Hakim bersifat menunggu, artinya dalam proses hukum acara perdata kehendak atau inisiatif gugatan diserahkan kepada para pihak yang berkepentingan (berperkara). Apabila tidak ada gugatan ke pengadilan, hakim tidak berwenang mengadili. Istilahnya tidak ada gugatan tidak ada hakim. (Wo kein klager ist, ist kein richter/nemo judex sine actore).
  2. Hakim aktif, artinya sejak awal sampai akhir persidangan hakim harus aktif memberi nasehat dan bantuan kepada para pihak yang berperkara tentang cara memasukkan gugatan (Pasal 119, 195 HIR/Pasal 143 Rbg). Hakim wajib mendamaikan para pihak yang berperkara (Pasal 130 HIR). Hakim wajib memberi nasehat kepada para pihak untuk melakukan upaya hukum dan memberikan keterangan yang diperbolehkan (Pasal 132 HIR). Hakim tetap terikat pada kasus yang diajukan para pihak (secundum allegata iudicare). Beracara menurut Rechtsvordering (Rv). Hakim bersifat pasif.
  3. Sidang bersifat terbuka, artinya pemeriksaan perkara di pengadilan bersifat terbuka untuk umum (openbaar), setiap orang boleh hadir dalam pemeriksaan perkara di persidangan (Pasal 179 ayat (1) HIR).
  4. Persamaan hak di muka hukum (equality before the law), artinya semua orang mempunyai kedudukan yang sama di muka hukum, hakim harus bertindak adil, karena itu tidak boleh memihak salah satu pihak yang bersengketa.
  5. Tidak harus diwakilkan, artinya berperkara di pengadilan tidak harus diwakilkan/dikuasakan. Akan  tetapi para pihak dapat juga diwakili oleh kuasanya kalau dikehendaki (Pasal 123 HIR/Pasal 147 Rbg).
  6. Beracara dengan lisan (mondelinge procedure), artinya pemeriksaan perkara di persidangan dilakukan dengan tanya jawab antara hakim dengan para pihak maupun dengan saksi. Selain itu para pihak diperbolehkan menyampaikan dengan surat-surat atau tulisan (Pasal 121 ayat (2) HIR/RIB).
  7. Beracara secara langsung, artinya pemeriksaan perkara di persidangan dilakukan secara langsung (onmiddellijk heid van procedure). Hakim berhadapan, berbicara, mendengar keterangan dari para pihak yang berperkara maupun dengan saksi di persidangan. Asas ini  dikenal dengan asas “audi et alteram partem” atau kedua pihak harus didengar.
  8. Beracara dikenai biaya, artinya berperkara di pengadilan harus membayar biaya perkara (Pasal 121 ayat (4), 182, 183 HIR/Pasal 145 ayat (4), 192-194 Rbg. jo Pasal 5 ayat (2) UUKK).
  9. Hakim harus berusaha mendamaikan, artinya sebelum acara pemeriksaan perkara dimulai, hakim lebih dahulu harus berusaha mendamaikan para pihak yang berperkara (Pasal 130 HIR/Pasal 154 Rbg. jo Pasal 16 ayat (2) UUKK).
  10. Putusan hakim harus disertai alasan-alasan hukum, artinya setiap putusan pengadilan harus disertai alasan-alasan hukum sebagai dasar putusan mengadili (Pasal 184 ayat (1) HIR, Pasal 195 ayat (1) Rbg. jo Pasal 19 ayat (4) UUKK).
  11. Hakim terikat pada alat bukti, artinya hanya boleh mengambil keputusan hukum berdasarkan alat-alat bukti yang sah atau yang ditentukan dalam undang-undang.

Proses Gugatan

Proses berperkara perdata di peradilan umum, meliputi Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan terakhir berpuncak di Mahkamah Agung untuk upaya kasasi dan peninjauan kembali, serta hak uji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang.

Proses gugatan perkara perdata diajukan ke Pengadilan tingkat pertama yaitu Pengadilan Negeri yang berwenang, dengan  tahapan  sebagai berikut:

Pertama, pengajuan gugatan. Surat gugatan/permohonan yang telah dibuat dan ditanda tangani penggugat/pemohon disampaikan kepada Panitera Pengadilan Negeri setempat yang berkompetensi memeriksa perkara gugatan.

Pengadilan Negeri yang berwenang sebagaimana dimaksud diatur dalam pasal 118 HIR/Pasal 142 Rbg. jo. Pasal 20 s/d. 23  P.P. No. 9 Tahun 1975 adalah sebagai berikut:  
  • Gugatan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri tempat kediaman tergugat (Pasal 118 ayat (1) HIR).
  • Apabila tergugat terdiri lebih dari seorang yang tempat tinggalnya berbeda, maka gugatan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri di tempat tinggal tergugat yang diketahui secara jelas. Demikian pula apabila yang digugat orang yang berutang, gugatan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang mewilayahi tempat tinggal tergugat yang berutang (Pasal 118 ayat (2) HIR).
  • Apabila tempat tinggal tergugat tidak diketahui, atau yang digugat tidak dikenal, maka gugatan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang mewilayahi tempat tinggal penggugat atau salah seorang dari penggugat, apabila yang digugat adalah barang tetap (tidak bergerak) maka gugatan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang mewilayahi tempat barang tetap berada (Pasal 118 ayat (3) HIR).
  • Apabila ada tempat tinggal yang dipilih/ditunjuk dengan akta, maka gugatan diajukan kepada Pengadilan Negeri yang ditunjuk oleh akta yang bersangkutan (Pasal 118 ayat (4) HIR).
Untuk gugatan perkawinan dan perceraian menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, dan peraturan pelaksanaannya yakni Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 maka gugatan ditentukan sebagai berikut:
  • Apabila menyangkut pembatalan perkawinan, permohonan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri (bagi yang tidak beragama Islam), atau Ketua Pengadilan Agama (bagi yang beragama Islam) dalam daerah hukum dimana perkawinan dilaksanakan, atau di tempat tinggal suami-isteri, suami atau isteri (Pasal 25 jo Pasal 63 ayat (1) UUP jo Pasal 38 ayat (1) dan ayat (2) P.P. No. 9 Tahun 1975).
  • Gugatan perceraian di ajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri/Agama di tempat kediaman tergugat. Apabila tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tidak diketahui atau tidak mempunyai tempat kediaman tetap, gugatan perceraian diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri/Agama tempat kediaman penggugat (Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) P.P. No. 9 Tahun 1975).
  • Apabila yang digugat berada di luar negeri, maka gugatan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri tempat kediaman penggugat. Ketua Pengadilan menyampaikan permohonan gugatan kepada tergugat melalui perwakilan Negara R.I. (Pasal 20 ayat (3) P.P. No. 9 Tahun 1975).
  • Terhadap gugatan perceraian dengan alasan salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa ijin dan tanpa alasan yang sah, gugatan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri/Agama tempat kediaman penggugat (Pasal 21 ayat (1) P.P. No. 9 Tahun 1975).
  • Gugatan perceraian karena alasan suami-isteri terus menerus berselisih dan bertengkar, gugatan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri/Agama tempat kediaman tergugat (Pasal 22 ayat (1) P.P. No. 9 Tahun 1975).
  • Gugatan perceraian karena alasan salah seorang dari suami atau isteri dihukum penjara 5 (lima) tahun atau lebih. Untuk mendapatkan putusan perceraian, sebagai bukti di persidangan penggugat cukup menyampaikan salinan putusan dari pengadilan yang memutus perkara pidana, disertai keterangan bahwa putusan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (Pasal 23 P.P. No. 9 Tahun 1975).
Kedua, membayar biaya perkara. Pasal 121 ayat (4)/Pasal 145 ayat (4) Rbg menentukan bahwa, syarat agar gugatan/permohonan dapat diterima dan didaftar dalam register perkara, bilamana penggugat/pemohon telah membayar uang muka atau “panjar” biaya perkara.

Dalam hal ini calon penggugat/pemohon membayar biaya perkara di kasir dengan menyerahkan surat gugatan/permohonan.

Ketiga, pendaftaran perkara gugatan/permohonan. Setelah membayar biaya perkara di kasir, penggugat/pemohon mendaftarkan gugatan/permohonan ke petugas pendaftaran di kepaniteraan pengadilan yang bersangkutan dengan menyerahkan surat gugatan/permohonan untuk diberi nomor perkara dan didaftar dalam buku register perkara.

Keempat, Penetapan Majelis Hakim. Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah Ketua Pengadilan menerima surat gugatan/permohonan dari penggugat/pemohon melalui panitera, Ketua Pengadilan menunjuk/menetapkan Majelis Hakim untuk memeriksa perkara di persidangan (Pasal 121 HIR).

Dalam hal ini Ketua Pengadilan memberikan semua berkas perkara kepada Majelis Hakim untuk diperiksa di persidangan.

Kelima, penunjukan panitera sidang. Untuk membantu Majelis Hakim di persidangan, ditunjuk seorang panitera/panitera pengganti sebagai panitera sidang yang bertugas mencatat jalannya persidangan.

Keenam, penetapan hari sidang. Setelah menerima berkas perkara dari Ketua Pengadilan, Ketua Majelis Hakim menetapkan hari, tanggal dan jam pemeriksaan perkara atau persidangan. Dalam hal ini Ketua Majelis Hakim memerintahkan panitera untuk memanggil para pihak yang berperkara agar hadir pada hari, tanggal dan jam persidangan yang telah ditetapkan.

Ketujuh, pemanggilan para pihak. Berdasarkan perintah Ketua Majelis Hakim, panitera/panitera pengganti melakukan pemanggilan kepada para pihak yang berperkara agar hadir dipersidangan pada hari, tanggal dan jam yang telah ditetapkan (Pasal 122 HIR).

Pemeriksaan di Persidangan

Pada hari sidang pertama yang telah ditetapkan oleh pengadilan, para pihak penggugat/pemohon, dan tergugat/termohon dipanggil agar hadir di persidangan. Dalam sidang pertama ini akan diketemukan beberapa kemungkinan, yaitu:
  1. Penggugat/pemohon dan tergugat/termohon tidak hadir dalam sidang. Apabila kedua pihak tidak hadir dalam persidangan, majelis hakim dapat melakukan penundaan sidang dan memerintahkan panitera agar memanggil kedua pihak hadir dalam persidangan berikutnya, atau hakim menjatuhkan putusan gugur dan perkara tidak diperiksa.
  2. Penggugat tidak hadir, tetapi tergugat hadir. Bilamana penggugat atau wakilnya tidak hadir, sedang tergugat hadir, maka hakim memerintahkan supaya penggugat yang tidak datang dipanggil sekali lagi (Pasal 126 HIR/Pasal 150 Rv). Apabila penggugat telah dipanggil dengan patut tidak hadir lagi, sedangkan tergugat hadir, maka gugatan penggugat  dinyatakan gugur dan penggugat dihukum membayar biaya perkara. Penggugat masih diberi kesempatan mengajukan gugatannya sekali lagi setelah membayar biaya perkara (Pasal 124 HIR/Pasal 148 Rbg).
  3. Tergugat tidak hadir, tetapi penggugat hadir. Dalam hal tergugat tidak hadir, sedangkan penggugat hadir, maka hakim dapat menunda persidangan, dan tergugat dipanggil sekali lagi agar hadir pada sidang berikutnya (Pasal 126 HIR/Pasal 150 Rbg). Apabila pada sidang berikutnya, tergugat tidak hadir lagi, maka gugatan penggugat dikabulkan dengan putusan di luar hadirnya tergugat (verstek), kecuali apabila gugatan mengenai perbuatan melawan hukum atau tidak beralasan. Putusan verstek dapat dijatuhkan pada sidang pertama ketika tergugat tidak hadir (Pasal 125 HIR/149 Rbg).
    Apabila pada sidang pertama tergugat hadir, sedangkan pada sidang berikutnya tidak hadir, maka perkaranya diperiksa secara “contradictoir” (di luar hadirnya salah satu pihak yang berperkara). Demikian pula jika pada sidang berikutnya tergugat hadir, tetapi penggugat tidak hadir, maka perkaranya diperiksa di luar hadirnya salah satu pihak yang berperkara (contradictoir).
    Terhadap putusan verstek dapat diajukan tuntutan perlawanan (verzet). Perlawanan (verzet) dapat diajukan dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah pemberitahuan putusan verstek kepada tergugat (Pasal 125 ayat (3) jo Pasal 129 HIR/Pasal 149 ayat (3) jo Pasal 153 Rbg). Apabila dalam acara perlawanan (verzet), penggugat tidak hadir, maka perkara diperiksa secara “contradictoir”. Kalau tergugat tidak hadir  dalam acara perlawanan (verzet), maka hakim memutus “verstek”, yang mana tuntutan perlawanan (verzet) tidak diterima (niet ontvankelijk verklaard - Pasal 129 ayat (5) HIR/Pasal 153 ayat (6) Rbg).
  4. Penggugat dan tergugat hadir di persidangan. Apabila kedua pihak (penggugat/tergugat) hadir dipersidangan, maka sebelum pemeriksaan perkara dimulai, hakim harus berusaha mendamaikan para pihak yang berperkara (Pasal 130 HIR/Pasal 154 Rbg. jo. Pasal 16 ayat (2) U.U No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman). Apabila perdamaian berhasil disepakati para pihak, maka dibuatlah akta perdamaian (acta van vergelijk) yang isinya menghukum para pihak untuk memenuhi isi perdamaian yang dibuat oleh para pihak yang bersengketa. Putusan perdamaian mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan putusan-putusan biasa yang dapat dilakukan “eksekusi” seperti putusan hakim lainnya. Putusan akta perdamaian (acta van vergelijk) ini tidak dapat diajukan perlawanan (banding, kasasi maupun peninjauan kembali). Dengan adanya putusan akta perdamaian (acta van vergelijk) berarti gugatan tidak dapat diteruskan atau tidak dapat diajukan gugatan baru. Putusan akta perdamaian yang dapat dieksekusi adalah yang berkenaan dengan sengketa kebendaan saja. Usaha perdamaian terbuka selama pemeriksaan perkara berlangsung. Dengan adanya usaha perdamaian, ini menunjukkan bahwa hakim berperan aktif dalam hukum acara perdata.
Apabila antara kedua pihak yang berperkara tidak dapat didamaikan oleh hakim, maka pemeriksaan perkara dilanjutkan dengan acara:

Pertama, pembacaan gugatan. Pada tahap pembacaan gugatan, terdapat beberapa kemungkinan antara lain:
  • (a) penggugat mencabut gugatan;
  • (b) penggugat mengubah gugatan;
  • (c) penggugat mempertahankan gugatan.
Apabila penggugat mempertahankan gugatannya, maka sidang dilanjutkan dengan “jawaban tergugat”.

Kedua, jawaban tergugat. Pada tahap ini tergugat diberi kesempatan untuk membela diri mempertahankan dan melaksanakan hak-haknya/kepentingannya terhadap gugatan penggugat.

Dalam hal ini tergugat dapat mengajukan “eksepsi” atau tangkisan, mengakui atau menerima gugatan sepenuhnya atau sebagian, mengaku dengan persyaratan (clausula) tertentu, atau membantah sepenuhnya, menjawab dengan berbagai cara (referte) sehingga pemeriksaan perkara tetap dilanjutkan, dan/atau menjawab dengan gugatan balik (reconvensi).

Ketiga, replik penggugat. Setelah tergugat menyampaikan jawaban, kemudian hakim memberikan kesempatan kepada penggugat untuk menanggapi jawaban tergugat yang sesuai dengan pendapatnya.

Dalam replik, penggugat dapat mempertahankan haknya atau gugatannya dan menambah kekurangan yang dianggap perlu dengan memperjelas alasan-alasan hukum dan dalil-dalilnya, atau penggugat berubah sikap membenarkan sebagian atau keseluruhan jawaban/bantahan tergugat.

Keempat, duplik tergugat. Setelah penggugat menyampaikan jawabannya (replik), kemudian tergugat oleh hakim diberi kesempatan untuk menanggapi replik penggugat. Dalam acara duplik ini, tergugat dapat menolak atau menerima sebagian atau keseluruhan jawaban atau replik yang dikemukakan oleh tergugat.

Dalam acara jawab menjawab antara penggugat dan tergugat (replik-duplik) dapat dilakukan secara berulang-ulang (rereplik-reduplik) sampai ada kesepakatan di antara para pihak, dan/atau sampai dianggap cukup oleh hakim.

Jika dalam acara replik-duplik atau rereplik-reduplik masih ada hal-hal yang belum disepakati oleh kedua pihak, maka kedua pihak perlu memperkuat dalil-dalilnya dengan alat-alat bukti yang sah dalam tahap pembuktian.

Kelima, pembuktian. Pada tahap pembuktian, pihak penggugat/pemohon dan pihak tergugat/termohon diberi kesempatan memperkuat atau mendukung dalil-dalilnya dengan menyampaikan alat-alat bukti secara bergantian kepada majelis hakim dipersidangan.

Macam-macam alat bukti yang berlaku dalam hukum acara perdata diatur dalam Pasal 164 HIR/Pasal 284 Rbg/Pasal 1866 B.W. yaitu:
  • (a) bukti tertulis atau surat;
  • (b) bukti saksi;
  • (c) bukti persangkaan;
  • (d) bukti pengakuan;
  • (e) bukti sumpah.
Keenam, tahap kesimpulan. Pada tahap ini masing-masing pihak yaitu penggugat dan tergugat diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapat akhir secara tertulis atau lisan sebagai kesimpulan tentang hasil pemeriksaan selama persidangan.

Ketujuh, putusan hakim. Pada tahap ini Majelis Hakim menyampaikan pendapatnya atau pandangan hukum tentang perkara yang diperiksa selama persidangan disertai alasan-alasan atau dasar-dasar hukum, dan diakhiri dengan putusan hakim/pengadilan.

Putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum yang tetap apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum (pasal 1917 B.W./Pasal 20 UUKK).

Dalam hukum acara perdata putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap atau mengikat  disebut “gezag van gewijsde” atau “kracht van gewijsde” apabila tidak ada upaya hukum biasa, yaitu verzet, banding atau kasasi. Siapapun tidak dapat mengubah putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, termasuk oleh pengadilan yang lebih tinggi, kecuali dengan upaya hukum luar biasa atau khusus, yaitu peninjauan kembali (request civil) dan perlawanan oleh pihak ketiga (derdenverzet) (Pasal 1917 B.W/Pasal 378-379 Rv).

Terhadap putusan pengadilan tingkat pertama (Pengadilan Negeri) dapat dimintakan banding kepada pengadilan tinggi oleh pihak-pihak yang berperkara, kecuali undang-undang menentukan lain (Pasal 21 ayat (1) UUKK).

Permohonan banding disampaikan oleh pemohon dengan surat/tertulis atau dengan lisan kepada Panitera Pengadilan Negeri yang menjatuhkan putusan dalam batas waktu 14 (empat belas) hari sejak putusan diberitahukan kepada pihak yang berkepentingan atau pemohon (Pasal 7 ayat (1) UU No. 20 Tahun 1947/Pasal 199 Rbg.).

Terhadap putusan pengadilan tingkat banding (Pengadilan Tinggi) dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung oleh pihak-pihak yang berperkara, kecuali undang-undang menentukan lain  (Pasal 22 UUKK jo. Pasal 28 ayat (1) UUMA).

Permohonan kasasi dapat diajukan hanya jika pemohon terhadap perkaranya telah menggunakan upaya hukum banding, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Permohonan kasasi hanya dapat diajukan satu kali (Pasal 43 UUMA).

Permohonan kasasi dalam perkara perdata disampaikan secara tertulis melalui Panitera Pengadilan Tingkat Pertama (Pengadilan Negeri) yang memutus perkaranya dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sesudah putusan atau penetapan pengadilan yang dimaksudkan diberitahukan kepada pemohon (Pasal 46 UUMA).

Terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang berperkara dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu atau bukti baru (novum) yang ditentukan dalam undang-undang, termasuk apabila terdapat kekhilafan hakim dalam menerapkan hukum (Pasal 23 ayat (1) UUKK jo Pasal 28 ayat (1) UUMA).

Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali (Pasal 23 ayat (2) UUKK).

Peninjauan kembali hanya dapat diajukan satu kali (Pasal 66 ayat (1) UUMA).

Permohonan  peninjauan kembali disampaikan melalui Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkara pada tingkat pertama dengan membayar biaya perkara yang telah ditentukan.

Mahkamah Agung memutus permohonan peninjauan kembali pada tingkat pertama dan terakhir (Pasal 70 ayat (2) UUMA).

Tenggang waktu pengajuan permohonan peninjauan kembali adalah 180 (seratus delapan puluh) hari sejak putusan hakim memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada pihak yang berperkara. Atau sejak ditemukan bukti baru (novum) yang dinyatakan di bawah sumpah serta disahkan oleh pejabat yang berwenang (Pasal 69 UUMA).

Bibliografi

  • Umar Said Sugiharto. 2009. Pengantar Hukum Indonesia. Malang: Publikasi Online.
Anda kini sudah mencapai bagian akhir dalam menuntaskan pembahasan Bab XX (kedua puluh) dengan judul Dasar-dasar Hukum Acara Perdata yang merupakan materi dari mata kuliah Pengantar Hukum Indonesia. Silahkan klik tombol di bawah ini untuk memilih bab selanjutnya. 👇👇👇
Adam Malik
Pendiri https://www.situshukum.com yang sudah bergelar S.H namun juga gemar dengan dunia Teknologi. Salam Kenal!

Related Posts

Post a Comment

Subscribe Our Newsletter