Hukum Pajak: Pengertian, Kedudukan, dan Klasifikasi Pajak

Post a Comment

Dasar-dasar hukum pajak

Situs Hukum - Menurut Adriani, pajak adalah iuran kepada Negara (yang dapat dipaksakan) yang terhutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk penyelenggaraan pemerintahan.

N.J. Feldmann dalam bukunya “De overheidsmiddelen van Indonesia” (1949), pajak adalah prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terhutang kepada penguasa (menurut norma-norma yang ditetapkan secara umum), tanpa adanya kontraprestasi, dan semata-mata digunakan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran umum.

M.J.H. Smeet mendefinisikan pajak sebagai prestasi kepada pemerintah yang terhutang melalui norma-norma umum, dan yang dipaksakan, tanpa adanya kontraprestasi yang dapat ditunjukkan dalam hal yang individual. Tujuannya adalah untuk membiayai pengeluaran pemerintah.

Menurut Soeparman Soemahamidjaya, pajak adalah iuran berupa uang atau barang yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum.

Rochmat Soemitro dalam bukunya “Dasar-Dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan”, pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan dipergunakan untuk membayar pengeluaran umum.

Dari definisi tersebut dapat diketahui, bahwa pajak adalah iuran wajib dari rakyat kepada pemerintah yang dipaksakan berdasarkan undang-undang, tanpa kontraprestasi secara langsung kepada individual, untuk pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan guna kepentingan umum.

Dari definisi pajak tersebut terdapat unsur-unsur pengertian pajak, antara lain:

  1. Adanya iuran wajib dari rakyat kepada pemerintah (Negara);
  2. Dipungut (dipaksakan) berdasarkan undang-undang;
  3. Tanpa adanya kontraprestasi langsung secara individual;
  4. Untuk pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan guna kepentingan umum.

Pajak berbeda dengan retribusi dan sumbangan. Kalau retribusi pada umumnya berkaitan kembalinya prestasi secara langsung kepada individual pemberi iuran wajib. Pembayaran iuran pada retribusi bertujuan untuk memperoleh prestasi secara langsung dari pemerintah (daerah).

Prestasi yang dimaksud berwujud jasa atau pemberian ijin tertentu yang bersifat khusus. Misalnya: retribusi jasa umum (retribusi parkir di jalan raya/tempat umum, retribusi biaya KTP/Akta kelahiran), retribusi jasa usaha (masuk tempat-tempat rekreasi, masuk bandara/pelabuhan laut yang dikelola oleh pemerintah daerah dsb).

Dengan demikian “retribusi” adalah pungutan sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian ijin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh pemerintah (daerah) untuk kepentingan individu (orang pribadi) atau badan.

Adapun sumbangan adalah pembayaran secara sukarela dari rakyat tertentu (tidak seluruhnya) yang mempunyai kemampuan untuk kegiatan tertentu yang diselenggarakan oleh pemerintah (daerah).

Misalnya sumbangan untuk Palang Merah Indonesia, donor darah yang dikelola oleh PMI/Rumah Sakit milik Pemerintah atau swasta.

Fungsi Pajak

Ada dua macam fungsi pajak, yaitu:

  1. Fungsi Penerimaan (budgetair), yaitu pajak berfungsi sebagai sumber pendanaan untuk pembiayaan pengeluaran-pengeluaran pemerintah guna kepentingan umum.
  2. Fungsi mengatur (regulerer), yaitu pajak sebagai alat untuk mengatur/melaksanakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi. Misalnya, dikenakan pajak yang tinggi untuk minuman keras, agar dapat menekan konsumsi yang tinggi terhadap pemakai minuman keras.

Pengertian Hukum Pajak

Hukum pajak adalah keseluruhan peraturan atau norma hukum yang mengatur kewenangan pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang guna kepentingan penyelenggaraan pemerintahan dan kepentingan umum (rakyat).

Hukum pajak mengatur hubungan hukum antara pemerintah (fiskus) selaku pemungut pajak dengan rakyat sebagai wajib pajak.

Macam-macam Hukum Pajak

Menurut fungsinya ada dua macam hukum pajak, yakni hukum pajak material dan hukum pajak formal.

1. Hukum Pajak Material

Hukum Pajak material adalah mengatur keadaan, perbuatan hukum yang dikenakan pajak (obyek pajak), siapa-siapa yang dikenakan pajak (subyek pajak), berapa besar pajak yang dikenakan, segala sesuatu tentang timbul (terjadinya) dan hapusnya pajak, dan hubungan hukum antara pemerintah dengan wajib pajak.

Contoh: Undang-undang pajak penghasilan, undang-undang pajak pertambahan nilai dan barang mewah, undang-undang pajak bumi dan bangunan.

2. Hukum Pajak Formal

Hukum Pajak formal adalah yang mengatur cara mempertahankan dan melaksanakan hukum pajak material. Hukum Pajak formal ini memuat:
  1. Tatacara penetapan pajak terhutang;
  2. Hak-hak fiskus untuk mengawasi Wajib Pajak pengenai keadaan perbuatan atau peristiwa yang dapat menimbulkan utang pajak;
  3. Kewajiban wajib pajak, misalnya penyelenggaraan pembukuan/pencatatan, dan hak-ak wajib pajak, misalnya cara mengajukan keberatan dan banding.

Kedudukan Hukum Pajak

Hukum pajak merupakan bagian hukum privat dan hukum publik.

Sebagai bagian hukum privat, hukum pajak mengatur hubungan antara individu dengan individu lainnya. Dalam hal subyek pajak dapat berwujud orang-perorangan maupun badan pribadi/badan hukum yang disebut dengan “wajib pajak” terhutang.

Istilah terhutang hanya ada dalam hukum privat.

Hukum pajak sebagai bagian hukum publik, karena hukum pajak mengatur hubungan hukum antara rakyat sebagai perseorangan (individu) dengan Negara (pemerintah) sebagai penyelenggara urusan/kepentingan umum (publik).

Hukum Publik, selain hukum pajak antara lain: Hukum Pidana, Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi Negara/Hukum Tata Usaha Negara/Hukum Tata Pemerintahan, Hukum Internasional (Publik).

Kedudukan Hukum pajak cenderung lebih banyak sebagai bagian atau hukum publik, karena lebih mengutamakan kepentingan umum daripada kepentingan individu.

Hukum pajak merupakan hukum imperatif artinya bersifat memaksa kepada pihak wajib pajak atau pihak terutang pajak.

Klasifikasi Pajak

1. Menurut Pembebanannya

  1. Pajak langsung, artinya pajak yang harus ditanggung sendiri oleh wajib pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada pihak lain. Contohnya: Pajak Penghasilan.
  2. Pajak tidak langsung, artinya pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contohnya: Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa.

2. Menurut Sifatnya

  1. Pajak subyektif, yaitu pajak yang didasarkan pada subyeknya yang kemudian dicari syarat obyektifnya. Artinya memperhatikan keadaan diri wajib pajak. Contohnya: Pajak Penghasilan.
  2. Pajak obyektif, yaitu yang didasarkan pada obyeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri wajib pajak. Contohnya: Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa, dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

3. Menurut Pemungutnya

  1. Pajak Pusat (Negara) adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai anggaran penyelenggaraan pemerintahan Negara baik di pusat maupun di daerah. Pajak Pusat (Negara) disebut juga sebagai “pajak umum” karena dipergunakan untuk pembiayaan atau pengeluaran-pengeluaran guna kepentingan masyarakat luas (umum). Contoh: Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa, dan Pajak Penjualan Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan, Bea Meterai.
  2. Pajak Daerah adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah dan digunakan untuk membiayai anggaran penyelenggaraan pemerintahan daerah. Contoh: Pajak Kendaraan Bermotor, Pajak Reklame, Pajak Hiburan, Pajak Penerangan jalan, Pajak Hotel, Pajak Restoran.

4. Jenis obyeknya

  1. Pajak Penghasilan adalah pajak yang dikenakan terhadap subyek pajak atas “penghasilan” yang diterima dan diperoleh dalam tahun pajak. Pajak Penghasilan/PPh di Indonesia terdiri dari (PPh 21, PPh 22, PPh 23, PPh 24, PPh 25, PPh 26).
  2. Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa, dan Pajak Penjualan Barang Mewah, terdiri dari:
    • Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa (PPN); dan
    • Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM). Obyek Pajak PPn dan PPN BM (Barang Kena Pajak/BKP: benda bergerak dan benda tidak bergerak, benda berwujud dan tidak berwujud yang ditentukan UUPPN; Jasa Kena Pajak/JKP: Jasa Pelayanan berdasarkan suatu perikatan/perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau  fasilitas/kemudahan atau hak untuk dipakai, termasuk jasa yang menghasilkan barang yang ditentukan UUPPN; dan Pengusaha Kena Pajak/PKP yang menghasilkan barang dan yang melakukan penyerahan barang menurut UUPPN).
  3. Pajak Bumi dan Bangunan. Obyek pajak adalah bumi dan/atau bangunan. Pengelompokan bumi dan/atau bangunan menurut nilai jualnya dan digunakan sebagai pedoman penghitungan pajak.
    Bumi/permukaan bumi (tanah) ditentukan berdasarkan: letaknya, peruntukannya, pemanfaatannya, dan kondisi lingkungan, dll.
    Bangunan ditentukan berdasarkan: bahan yang digunakan, rekayasa, letak, dan kondisi lingkungan, dll.
  4. Bea Meterai. Bea Meterai adalah pajak atas dokumen. Dokumen adalah kertas yang berisikan tulisan yang mengandung arti dan maksud tentang perbuatan, keadaan bagi seseorang dan/atau pihak-pihak yang berkepentingan.
    Obyek Pajak/Bea Meterai adalah Dokumen (Surat Perjanjian, Surat Kuasa, Surat Hibah, Surat Pernyataan yang dapat dijadikan alat bukti di Pengadilan maupun surat-surat yang bersifat perdata, surat-surat tentang perbuatan, kenyataan atau keadaan tertentu; akta notaris dan salinannya, akta PPAT dan salinannya/rangkapnya; surat yang memuat jumlah uang lebih dari satu juta rupiah; surat-surat berharga seperti cek, wesel, promes, aksep, efek yang nilainya lebih dari satu juta rupiah (UU No. 13 Tahun 1985 jo PP.No. 7 Tahun 1995 dan PP. No. 24 Tahun 2000).
  5. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah Pajak yang dikenakan atas Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Perolehan Hak atas tanah dan bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan.
    Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, meliputi (pemindahan hak, dan pemberian hak baru). Pepindahan hak atas tanah dan atau bangunan mencakup perbuatan hukum:
    • Jual beli;
    • tukar menukar,
    • hibah,
    • hibah wasiat,
    • waris,
    • pemasukan dalam perseroan/badan hukum,
    • pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan,
    • penunjukan pembeli dalam lelang,
    • pelaksanaan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap,
    • penggabungan usaha,
    • peleburan usaha,
    • pemekaran usaha,
    • hadiah.
Pemberian hak baru mencakup (kelanjutan pelepasan hak, dan di luar pelepasan hak). Hak-hak atas tanah tersebut meliputi: Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak atas Satuan Rumah Susun, dan Hak Pengelolaan.

Bibliografi

  • Umar Said Sugiharto. 2009. Pengantar Hukum Indonesia. Malang: Publikasi Online.
  • Santoso Brotodihardjo. 1987. Pengantar Hukum Pajak. Bandung: Eresco.
  • Rochmat Soemitro. 1982. Dasar-dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan. Bandung: Eresco.
Note: Untuk menuntaskan bab keempat belas dengan judul Dasar-dasar Hukum Pajak ini dari materi mata kuliah Pengantar Hukum Indonesia. Silahkan klik tombol berikut untuk lanjut ke sesi berikutnya. 👇👇👇
Adam Malik
Pendiri https://www.situshukum.com yang sudah bergelar S.H namun juga gemar dengan dunia Teknologi. Salam Kenal!

Related Posts

Post a Comment

Subscribe Our Newsletter