Hukum Keluarga: Pengertian dan Penjelasan Setiap Pasal-pasalnya (UU No. 1 Tahun 1974)

Post a Comment
Hukum Keluarga

Situs Hukum - Bada bagian ke-2 (kedua) sebelumnya, kita sudah kupas ringkas mengenai hukum perorangan. Baik dari mulai pengertian hukum perorangan, bagaimana yang dikatakan dengan orang yang cakap hukum dan orang yang tidak cakap hukum.

Bahkan sempat juga menyinggung materi tentang badan hukum.

Kali ini, kita akan masuk ke bagian ketiganya yang membahas tentang Hukum Keluarga. Artikel ini akan memulainya dengan apa itu pengertian hukum keluarga?

Sama halnya dengan materi pada bagian kedua. Hukum keluarga juga termasuk dalam bab Pengantar Hukum Indonesia, yakni tentang dasar-dasar hukum perdata.

Baik, mari langsung saja disimak ulasannya.

Pengertian Hukum Keluarga

Hukum keluarga adalah hukum yang memuat segala peraturan-peraturan hukum yang timbul dari pergaulan hidup suatu keluarga. Keluarga (dalam arti sempit) adalah kesatuan mayarakat kecil yang terdiri dari suami-isteri dan anak yang berdiam dalam satu tempat tinggal.

Dalam pengertian yang luas, adalah apabila dalam satu tempat tinggal itu berdiam pula pihak lain sebagai akibat perkawinan, maka berkumpullah anggota keluarga yang terdiri dari orang-orang yang mempunyai hubungan karena perkawinan dan karena pertalian darah. Keluarga  dalam arti luas dapat terdiri dari kakek/nenek, suami-isteri, anak-menantu bahkan cucu.

Dengan berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, sebagian besar pasal-pasal hukum keluarga di dalam B.W. dinyatakan tidak berlaku.

Pembahasan Hukum keluarga, dalam pembahasan berikut ini ditekankan pada Hukum Perkawinan sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP).

Pasal-pasal Tentang Perkawinan

1. Kekuasaan Orang Tua Menurut UU No. 1 Tahun 1974

Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. Kewajiban orang tua memelihara dan mendidik anak-anak-nya sampai anak telah menikah atau telah mampu mandiri.

Kewajiban orang tua terhadap anak-anak mereka juga tetap berlaku terus meskipun perkawinan kedua orang tua putus (Pasal 45).

Setiap anak wajib hormat dan patuh kepada orang tuanya, dan mentaati kehendak orang tua yang baik. Jika anak telah dewasa berkewajiban memelihara kedua orang tua dan keluarga garis lurus ke atas menurut kemampuannya, bila orang tua memerlukan bantuan si anak (Pasal 46).

Setiap anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. Orang tua mewakili anak mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan, selama anak belum berusia 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan (Pasal 47).

Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimilikinya anaknya yang belum berumur 18 tahun dan belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali kepentingan anak menghendaknya (Pasal 48).

Orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak, apabila ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya, juga apabila berkelakuan sangat buruk sehingga dapat merugikan kepentingan atau masa depan anaknya.

Apabila masalah seorang atau kedua orang tua dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih, mereka masih tetap berkewajiban memberi biaya pemeliharaan kepada anak-anak mereka (Pasal 49).

Jadi segala hak dan kewajiban yang timbul antara hubungan anak dengan orang tua dan akibat-akibat putusnya perkawinan orang tua, kekuasaan orang tua terhadap si anak dan harta bendanya, pencabutan dan pemecatan kekuasaan orang tua, kewajiban timbal balik antara orang tua dan anak tersebut kesemuanya telah diatur dalam peraturan tentang kekuasaan orang tua dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan UUP).

2. Perwalian Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974

Perwalian adalah pengawasan atau pengurusan terhadap pribadi anak dibawah umur atau belum dewasa yang tidak di bawah kekuasaan orang tua serta pengurusan harta benda anak sebagaimana diatur dalam undang-undang.

Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak di bawah kekuasaan orang tuanya, berada di bawah kekuasaan wali. Perwalian yang dimaksud adalah mengenai pribadi anak maupun harta bendanya (Pasal 50).

Wali wajib mengurus peribadi anak yang ada di bawah penguasaannya dan harta bendanya sebaik-baiknya, dengan menghormati agama dan kepecayaan si anak. Wali berkewajiban membuat daftar harta benda anak yang berada di bawah kekuasaannya pada waktu memulai tugasnya dan mencatat semua perubahan-perubahan harta benda si anak atau anak-anak itu (Pasal 51 ayat (3) dan (4).

Wali juga dilarang memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki si anak yang belum berumur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan si anak menghendakinya (Pasal 52 jo. Pasal 48).

Wali dapat dicabut kekuasannya apabila sangat melalaikan kewajibannya terhadap anak yang di bawah kekuasannya. Juga apabila wali berkelakuan buruk sekali. Apabila kekuasaan wali dicabut, maka Pengadilan dapat menunjuk orang lain sebagai wali (Pasal 53 jo. Pasal 49).

Wali yang menyebabkan kerugian kepada harta benda si anak yang dibawah kekuasannya, atas gugatan/tuntutan si anak atau keluarganya dengan keputusan Pengadilan wajib mengganti kerugian tersebut (Pasal 54).

Wali ditetapkan oleh Pengadilan atau dapat pula karena wasiat orang tua sebelum ia meninggal. Sedapat mungkin wali diangkat dari keluarga terdekat atau dari orang-orang yang mempunyai pertalian darah terdekat dengan si anak atau orangtuanya yang karena sesuatu hal telah bercerai atau saudara-saudaranya yang dianggap cakap (dewasa, berpikiran sehat, jujur, adil berkelakuan baik) sebagai wali (Pasal 51 ayat (1) dan (2).

Perwalian dapat terjadi karena:
  • Perkawinan orang tua putus yang disebabkan oleh salah seorang meninggal dunia atau karena bercerai;
  • Kekuasaan orang tua dicabut, maka Pengadilan/Hakim dapat mengangkat orang lain sebagai wali.
Ada tiga macam perwalian terhadap si anak, yakni:
  1. Perwalian karena undang-undang, adalah perwalian yang  ditentukan oleh undang-undang untuk mengurus kepentingan si anak; misal : apabila salah satu orang tua meninggal, maka yang menjadi wali adalah orang tua yang masih hidup;
  2. Perwalian karena wasiat, yaitu perwalian yang ditunjuk berdasarkan wasiat atau diwasiatkan oleh orang tua si anak sebelum orang tuanya meninggal;
  3. Perwalian Keputusan Pngadilan, artinya penunjukan wali oleh Hakim atau berdasarkan keputusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

3. Pengampuan (Curatele Pasal 433 s/d 462 B.W.)

Lembaga Pengampuan (Curatele) ini tidak dicabut oleh Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan). Lembaga Pengampuan masih diperlukan untuk masa sekarang atau mendatang, meskipun dalam praktek lembaga ini tidak banyak berperanan atau diperlukan di masyarakat.

Curatele adalah suatu pengawasan terhadap orang dewasa yang karena keadaan tertentu tidak mampu mengurus kepentingannya sendiri secara wajar.

Pengampuan dilakukan terhadap orang dewasa karna (1) sakit ingatan, (2) pemboros, (3) lemah daya pikirnya (4) pemabok yang menjadi kebiasaan. Pengampuan dilakukan karena orang yang bersangkutan tidak sanggup mengurus kepentingannya sendiri dengan semestinya, atau disebabkan kelakuan buruk di luar batas sehingga dapat mengganggu keamanan.

Oleh karena itu diperlukan adanya Pengampu (kurator). Orang yang di ampu (di bawah pengampuan) disebut “kurandus”. Orang yang dibawah pengampuan (kurandus) kedudukannya disamakan dengan orang belum dewasa.

Biasanya suami menjadi pengampu isterinya atau sebaliknya. Pengadilan dapat mengangkat orang lain atau perkumpulan-perkumpulan menjadi pengampu (curator). Balai Harta Peninggalan dapat menjadi pengampu atas harta benda kurandus atau pemberi ijin bilamana kurandus ingin melangsungkan perkawinan.

Penetapan di bawah pngampuan dapat dimintakan oleh suami atau istri keluarga sedarah. Kejaksaan dan dalam hal lemah daya ingat atau pikiran hanya boleh atas permintaan yang berkepentingan saja.

Pengampuan berakhir apabila alasan-alasan yang menyebabkan pengampuan sudah tidak ada lagi (artinya kurandus sudah sembuh/sehat atau normal). Bagi anak atau orang yang belum dewasa yang dalam keadaan dungu, sakit otak atau gelap mata, tidak boleh ditempatkan di bawah pengampuan (curatele), melainkan tetap dalam pengawasan orang tuanya atau walinya.

4. Hukum Perkawinan Menurut Hukum Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Hukum perkawinan ialah peraturan-peraturan hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan hukum serta akibat-akibatnya antara dua pihak, yaitu seorang laki-laki dan seorang wanita dengan tujuan hidup bersama sebagai suami-isteri untuk waktu yang lama menurut ketentuan yang ditetapkan dalam undang-undang.

Dengan berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP),  maka hukum nasional (hukum positif) yang mengatur tentang perawinan, perceraian dan akibat hukumya adalah yang diatur oleh Undang-undang No. 1 Tahun 1974.

Perundang-undangan perkawinan yang berlaku sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, dinyatakan dicabut atau tidak berlaku sepanjang sudah diatur dan tidak bertentangan dengan UUP ini.

5. Dasar-dasar Perkawinan

Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 (UUP) ditentukan asas-asas mengenai perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yan telah disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Asas-asas yang tercantum dalam UU. No. 1 Tahun 1974 adalah sebagai berikut.

a. Tujuan Perkawinan

Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan material.

b. Sahnya Perkawinan

Dalam UU. No. 1 Tahun 1974 ditentukan, bahwa suatu perkawinan adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Dan di samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut aturan perundangan yang berlaku.

Pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan seseorang. Misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan dalam surat-surat keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.

c. Asas Monogami

UU. No. 1 Tahun 1974 menganut asas monogami; hanya apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, karena hukum dan agama dari yang bersangkutan mengizinkannya, seorang suami dapat beristeri lebih dari seorang. Namun demikian perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang isteri, meskipun hal itu dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan.

d. Usia Perkawinan

Undang-undang perkawinan menganut asas bahwa, calon suami isteri harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar supaya dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tidak berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat.

Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan di bawah umur. Berhubung dengan itu, maka undang-undang ini menentukan batas umur untuk kawin, yaitu 19 (sembilan belas) tahun bagi pria dan, 16 (enam belas) tahun bagi wanita.

e. Mempersukar Terjadinya Perceraian

Karena tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia kekal dan sejahtera, maka UU. No.1 Tahun 1974 menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian. Untuk memungkinkan perceraian harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan sidang Pengadilan.

f. Hak dan Kedudukan Isteri

Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat. Sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama oleh suami isteri.

6. Jaminan Kepastian Hukum

Untuk menjamin kepastian hukum, maka perkawinan berikut segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi sebelum undang-undang ini berlaku, yang dilakukan berdasarkan  hukum yang telah ada adalah sah.

Demikian pula apabila mengenai sesuatu hal tidak diatur dalam UU. No. 1 Tahun 1974, dengan sendirinya berlaku ketentuan yang sudah ada.

7. Pengertian Perkawinan

Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1 UUP).

Sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila, dimana Sila yang pertamanya ialah ke-Tuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan erat sekali dengan agama/kerohanian. Tetapi unsur batin/rohani juga mempunyai peranan yang penting.

Membentuk keluarga yang bahagia, erat hubungan dengan keturunan, pemeliharaan dan pendidikan anak menjadi kewajiban orang tua adalah merupakan tujuan perkawinan.

8. Syarat Sahnya Perkawinan

Pasal 2 ayat (1) UUP menetapkan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.

Dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Sedangkan yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undang-undang perkawinan.

Tiap-tiap perkawinan yang dilaksanakan menurut ketentuan pasal 2 ayat (1) UUP dicatat menurut peraturan perundangan yang berlaku (Pasal 2 ayat 2).

9. Asas Monogami dalam Perkawinan

Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami (Pasal 3 ayat (1). Dari ketentuan ini jelaslah, bahwa Undang-undang Perkawinan ini menganut asas monogami.

Namun dalam pasal 3 ayat (2) UUP ditegaskan, bahwa Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Adapun yang dimaksudkan dengan Pengadilan dalam pasal 3 ayat (2), menurut pasal 63 UUP ialah:
  • a. Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam;
  • b. Pengadilan umum bagi lainnya.
Pengadilan yang bersangkutan dalam memberi putusan selain memeriksa apakah syarat untuk dapat beristeri lebih dari seorang (tersebut dalam pasal 4 dan pasal 5 UUP) telah dipenuhi. Harus mengingat pula apakah ketentuan-ketentuan hukum perkawinan dari calon suami mengizinkan adanya poligami.

Menurut ketentuan pasal 4 ayat (1) UUP, bahwa dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya.

Akan tetapi Pengadilan dimaksud hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:
  • a. isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
  • b. isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
  • c. isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Selanjutnya menurut Pasal 5 ayat (1) UUP, bahwa untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
  • (a) adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;
  • (b) adanya kepastian bahwa suami menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anaknya;
  • (c) adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.
Persyaratan “adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri” tidak diperlukan apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian. Atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.

10. Syarat-syarat untuk dapat melangsungkan perkawinan

Untuk dapat melangsungkan perkawinan secara sah, harus dipenuhi syarat-syarat perkawinan yang ditegaskan dalam Pasal 6 UUP yaitu:
  1. Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai.
  2. Ditetapkan syarat “persetujuan kedua mempelai” oleh karena perkawinan mempunyai maksud agar suami dan isteri dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, dan sesuai pula dengan hak asasi manusia. Maka perkawinan harus disetujui oleh kedua belah pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut, tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Ketentuan dalam pasal ini, tidak berarti mengurangi syarat-syarat perkawinan menurut ketentuan hukum perkawinan yang sekarang berlaku, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam Undang-undang ini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Perkawinan yang telah disebutkan di muka.
  3. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
  4. Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
  5. Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya. Maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
  6. Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih di antara mereka tidak menyatakan pendapatnya. Maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2) (3) dan (4) pasal ini.
  7. Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
Selanjutnya dalam pasal 7 UUP ditegaskan hal-hal yang berikut:
  • (a) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.
  • (b) Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.
  • (c) Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut dalam Pasal 6 yat (3) dan (4) Undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6).

11. Larangan Perkawinan

Menurut pasal 8 UUP, perkawinan dilarang antara dua orang yang:
  • a. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas;
  • b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
  • c. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri;
  • d. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;
  • e. berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan;
  • f. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;
  • g. yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.
Menurut pasal 9 UUP seorang yang masih terikat perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali jika:
  1. Mendapat izin dari Pengadilan (berdasarkan ketentuan pasal 3 ayat (2) UUP yang disebutkan di muka).
  2. Dengan alasan bahwa isteri (Pasal 4 ayat 2 UUP):
    • a) tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;
    • b) mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
    • c) tidak dapat melahirkan keturunan.
Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka di antara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi. Sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain (Pasal 10).

Oleh karena perkawinan bertujuan agar suami dan isteri dapat membentuk keluarga yang kekal, maka suatu perbuatan yang dapat mengakibatkan perceraian harus benar-benar dipertimbangkan dan dipikirkan.

Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah tindakan kawin-cerai berulang kali, sehingga suami maupun isteri benar-benar saling menghargai satu sama lain.

Adapun seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu (Pasal 11 ayat 1). Jangka waktu tunggu tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975. Dalam pasal 39 disebutkan sebagai berikut: (a) apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu 130 hari; (b) apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih datang bulan ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari, dan bagi yang tidak datang bulan ditetapkan 90 hari; (3) apabila perkawinan putus, sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.

Demikian pula tata cara pelaksanaan perkawinan, menurut pasal 12 UUP diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.

Ketentuan pasal 12 UUP ini tidak mengurangi ketentuan yang diatur dalam Undang-undang No. 32 Tahun 1954 tentang Penetapan Undang-Undang tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk di seluruh luar Jawa dan Madura.

12. Pencegahan Perkawinan (Pasal 13 sampai dengan 21)

a. Syarat dan pihak yang berhak mencegah perkawinan

Menurut pasal 13 UUP, perkawinan dapat dicegah, apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.

Adapun para pihak yang dapat mencegah perkawinan menurut pasal 14 ayat (1) ialah:
  • para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah;
  • saudara;
  • wali nikah;
  • wali;
  • pengampu dari salah seorang calon mempelai;
  • pihak-pihak yang berkepentingan.
Selanjutnya dalam pasal 14 ayat (2) ditegaskan bahwa, mereka yang tersebut pada pasal 14 ayat (1) berhak juga mencegah berlangsungnya perkawinan apabila salah seorang dari calon mempelai berada di bawah pengampuan.

Sehingga dengan perkawinan tersebut nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi calon mempelai yang lainnya, yang mempunyai hubungan dengan orang-orang seperti tersebut dalam pasal 14 ayat (1).

Selain itu menurut pasal 15 UUP, bahwa barang siapa karena perkawinan dirinya masih terikat dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan, dapat mencegah perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 UUP ini.

Hal ini berarti bahwa yang bersangkutan tidak dapat mencegah apabila perkawinan tersebut mendapat izin Pengadilan, karena:
  • isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;
  • isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
  • isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

b. Pejabat yang berwenang mencegah berlangsungnya perkawinan

Juga seorang pejabat yang ditunjuk, menurut pasal 16 ayat (1) berkewajiban mencegah berlangsungnya perkawinan apabila tidak memenuhi ketentuan-ketentuan yang berikut:
  • pihak pria belum mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita belum mencapai umur 16 tahun (vide pasal 7 ayat 1)
  • terkena larangan perkawinan karena hal-hal yang disebutkan dalam pasal 8 UUP tersebut di atas.
  • seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain dan tidak mendapat izin pengadilan untuk dapat kawin lagi (vide pasal 9).
  • suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain (vide pasal 10).
  • tidak memenuhi tata cara pelaksanaan perkawinan, yang akan diatur tersendiri (vide pasal 12). Mengenai pejabat yang ditunjuk sebagaimana tersebut pada pasal 16 ayat (1) yang disebutkan di atas akan diatur dalam peraturan perundangan (pasal 16 ayat (2).
Pencegahan perkawinan dapat diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada pegawai pencatat pekawinan. Kepada calon-calon mempelai diberitahukan mengenai permohonan pencegahan perkawinan dimaksud oleh pegawai pencatat perkawinan.

Pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan putusan Pengadilan atau dengan menarik kembali permohonan-permohonan pada Pengadilan oleh yang mencegah. Perkawinan tidak dapat dilangsungkan apabila pencegahan belum dicabut.

c. Pegawai Pencatat Perkawinan tidak diperbolehkan melangsungkan perkawinan yang melanggar peraturan UUP

Sesuai dengan ketentuan pencegahan perkawinan sub (a) sampai dengan (e) dalam pasal 16 sub (f) yang disebutkan di muka, maka pegawai pencatat perkawinan, menurut pasal 20 UUP, tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu adanya pelanggaran dari ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 dan Pasal 12 UUP, meskipun tidak ada pencegahan perkawinan (yang diajukan oleh para pihak yang bersangkutan).

Kemudian dalam 21 UUP ditegaskan, bahwa jika pegawai pencatat perkawinan berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut ada larangan menurut Undang-undang ini, maka ia akan menolak untuk melangsungkan perkawinan.

Di dalam penolakan, maka permintaan salah satu pihak yang ingin melangsungkan perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan akan diberikan suatu keterangan tertulis dari penolakan tersebut disertai dengan alasan-alasan penolakannya.

Para pihak yang perkawinannya ditolak berhak mengajukan permohonan kepada pengadilan di dalam wilayah mana pegawai pencatat perkawinan yang mengadakan penolakan berkedudukan untuk memberi keputusan, dengan menyerahkan surat keterangan penolakan tersebut di atas.

Pengadilan akan memeriksa perkaranya dengan cara singkat dan akan memberikan ketetapan, apakah ia akan menguatkan penolakan tersebut ataukah memerintahkan agar supaya perkawinan dilangsungkan.

Penetapan ini hilang kekuatannya, jika rintangan-rintangan yang mengakibatkan penolakan tersebut hilang dan para pihak yang ingin kawin dapat mengulangi pemberitahuan tentang maksud mereka.

13. Batalnya Perkawinan (Pasal 22 sampai dengan 28)

a. Syarat-syarat pembatalan perkawinan

Menurut pasal 22 UUP suatu perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.

Pengertian “dapat” pada pasal ini diartikan bisa batal atau bisa tidak batal, bilamana menurut ketentuan hukum agamanya masing-masing tidak menentukan lain.

Adapun pihak-pihak yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan, menurut pasal 21 UUP ialah:
  • a. para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri;
  • b. suami atau isteri;
  • c. pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan;
  • d. pejabat yang ditunjuk tersebut ayat (2) Pasal 16 Undang-undang ini dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.
Barangsiapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 undang-undang ini (pasal 24).

Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan dilangsungkan atau di tempat tinggal kedua suami isteri, suami atau isteri (pasal 25).

Menurut ketentuan Pasal 26 ayat (1) UUP suatu perkawinan yang dilangsungkan di muka pegawai pencatatan perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau dilangsungkan tanpa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri, jaksa dan suami atau isteri.

Hak untuk membatalkan oleh suami atau isteri berdasarkan alasan dalam ayat (1) pasal 26, gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami isteri dan dapat memperlihatkan akte perkawinan yang telah dibuat pegawai pencatatan perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan harus diperbaharui supaya sah.

Seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum. Selain itu seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka mengenai diri suami atau isteri.

Apabila ancaman telah berhenti, atau yang salah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap sebagai suami isteri, dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.

b. Saat batalnya perkawinan

Menurut pasal 28 ayat (1) UUP batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.
Keputusan tidak berlaku surut apabila:
  • a. anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;
  • b. suami atau isteri yang bertindak dengan iktikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu;
  • c. orang-orang ketiga lainnya tidak termasuk dalam a dan b sepanjang mereka memperoleh hak-hak dan iktikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap (Pasal 28 ayat (2)).

14. Perjanjian Perkawinan (Pasal 29 UUP )

Berkenaan dengan perjanjian perkawinan dalam pasal 29 UUP ditegaskan sebagai  berikut:
  1. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
  2. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
  3. Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
  4. Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.

15. Hak dan Kewajiban Suami Istri (Pasal 30 sampai dengan 34)

Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat (Pasal 30).

Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Masing-masing pihak untuk melakukan perbuatan hukum. Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga (Pasal 31).

Suami isteri saling cinta-mencintai, hormat-menghormati, suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap. Rumah tempat kediaman yang dimaksud ditentukan oleh suami isteri bersama (Pasal 32).

Suami isteri wajib saling cinta-mencintai, hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain (Pasal 33).

Selanjutnya dalam pasal 34 UUP ditegaskan, bahwa:
  1. Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
  2. Istri wajib mengatur rumah tangga sebaik-baiknya.
  3. Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan.

16. Harta Benda dalam Perkawinan (Pasal 35 sampai dengan 37)

Berkenaan dengan harta benda dalam perkawinan menurut pasal 35 UUP, bahwa:
  1. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama;
  2. Harta benda dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Mengenai harta bersama, suami isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.

Apabila perkawinan putus, maka harta bersama tersebut diatur menurut hukumnya masing-masing (Pasal 37 UUP).

17. Putusnya Perkawinan Serta Akibatnya (Pasal 38 sampai dengan 41)

a. Sebab-sebab Putusnya Perkawinan

Menurut pasal 38 UUP, perkawinan dapat putus karena:
  1. kematian;
  2. perceraian;
  3. atas keputusan pengadilan
Perceraian hanya dapat dilakuan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai isteri (Pasal 39).

Menurut Penjelasan Pasal 39 UUP jo. Pasal 19 P.P. No. 9 Tahun 1975, alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk perceraian adalah:
  • a. salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
  • b. salah satu pihak meninggalkan pihak yang lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya;
  • c. salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
  • d. salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain;
  • e. salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;
  • f. antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Mengenai tatacara perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersendiri (Pasal 39 ayat (3) UUP).

Gugatan perceraian diajukan kepada pengadilan, tatacara mengajukan gugatan perceraian diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri (Pasal 40 UUP).

b. Akibat putusnya perkawinan (Pasal 41 UUP)

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian menurut pasal 41 adalah:
  1. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya;
  2. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memberi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
  3. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.

18. Kedudukan Anak

Anak yang sah ialah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah (Pasal 42).

Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Kedudukan anak tersebut selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah (Pasal 43).

Seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh istrinya, bilamana ia dapat membuktikan bahwa istrinya telah berzina dan anak itu akibat daripada perzinahan tersebut. Pengadilan memberikan keputusan tentang sah/tidaknya anak atas permintaan pihak yang berkepentingan (Pasal 44).

Untuk itu pengadilan mewajibkan yang berkepentingan yakni suami dan atau isteri, termasuk juga saksi (bila ada) mengucapkan sumpah.

Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. Kewajiban orang tua yang dimaksud nerlaku sampai anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri. Kewajiban berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus (Pasal 45).

Anak wajib menghormati orang tua dan mentaati kehendak mereka yang baik. Jika anak telah dewasa, ia wajib memelihara menurut kemampuannya, orang tua dankeluarga dalam garis lurus ke atas, bila mereka itu memerlukan bantuannya (Pasal 46).

Anak, yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan (Pasal 47).

Orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya (Pasal 48).

Menurut Pasal 49 UUP, bahwa:
  1. Salah seorang atau kedua orang tua dapat dicabut kekuasaannya terhadap seorang anak atau lebih untuk waktu yang lama yang tertentu atas permintaan orang tua yang lain, keuarga anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah dewasa atau pejabat yang berwenang, dengan keputusan Pengadilan dalam hal-hal:
    • a. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya;
    • b. Ia berkelakuan buruk sekali.
  2. Meskipun orang tua dicabut kekuasaannya, mereka masih tetap berkewajiban untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut.
Adapun yang dimaksud dengan “kekuasaan” dalam Pasal 49 tersebut di atas tidak termasuk kekuasaan sebagai wali nikah (Penjelasan Pasal 49 UUP).

19. Perwalian

a. Arti Perwalian

Pewalian (voogdij) adalah pengawasan atau pemeliharaan terhadap anak di bawah umur yang tidak berada di bawah keuasaan orangtuanya serta pengurusan harta benda atau kekayaan anak tersebut sebagaimana diatur dalam undang-undang.

Ada tiga faktor atau penyebab anak-anak di bawah umur di bawah perwalian, yakni: (a). kedua orang tuanya dicabut  kekusaannya sebagai orang tua oleh Hakim; (b). orang tuanya bercerai atau meninggal dunia; (c). anak yang lahir di luar perkawinan (natuurlijk kind).

Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun belum pernah melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah kekuasaan wali. Perwalian itu mengenai pribadi anak yang bersangkutan maupun harta bendanya (Pasal 50).

Wali dapat ditunjuk oleh salah satu orang tua (papak atau ibunya) yang menjalankan kekuasaan orang tua, sebelum ia meninggal, dengan surat wasiat atau dengan lisan dihadapan 2 (dua) orang saksi.
Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang lain yang sudah dewasa, berpikiran sehat, adil jujur dan berkelakuan baik.

b. Kewajiban dan Tanggung Jawab Wali

Wali wajib mengurus anak yang di bawah penguasaannya dan harta benda sebaik-baiknya, dengan menghormati agama dan kepercayaan anak itu.

Wali wajib membuat daftar harga benda anak yang berada di bawah kekuasaannya pada waktu memulai jabatannya (tugas perwalian) dan mencatat semua perubahan-perubahan harta benda anak atau anak-anak itu.

Untuk itu wali bertanggung jawab tentang harta benda anak yang berada di bawah perwaliannya serta kerugian yang ditimbulkan karena kesalahan dan kelalaiannya (Pasal 51 UUP).

Ketentuan pasal 48 UUP mengenai kewajiban orang tua terhadap anak, berlaku juga terhadap wali (Pasal 52 UUP), berarti wali tidak diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anak yang di bawah penguasaannya, kecuali apabila kepentingan anak itu menghendakinya.

Menurut Pasal 53 UUP, wali dapat dicabut dari kekuasaannya dengan keputusan pengadilan, dalam hal-hal yang tersebut dalam pasal 49 UUP, yaitu:
  • a. Ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anak yang di bawah penguasaannya;
  • b. Ia berkelakuan buruk sekali.
Dalam hal kekuasaan seorang wali dicabut, oleh Pengadilan ditunjuk orang lain sebagai wali.
Wali yang telah menyebabkan kerugian kepada harta benda anak yang di bawah kekuasaannya, atas tuntutan anak atau keluarga anak tersebut dengan keputusan Pengadilan, yang bersangkutan dapat diwajibkan untuk mengganti kerugian tersebut (Pasal 54).

20. Ketentuan-ketentuan Lain

a. Pembuktian Asal Usul Anak

Berkenaan dengan pembuktian asal usul anak dalam Pasal 55 ditegaskan sebagai berikut:
  1. Asal usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akte kelahiran yang autentik, yang dikeluarkan oleh Pejabat yang berwenang;
  2. Bila akte kelahiran tersebut dalam ayat (1) pasal ini tidak ada, maka pengadilan dapat mengeluarkan penetapan tentang asal usul seorang anak setelah diadakan pemeriksaan yang teliti berdasarkan bukti-bukti yang memenuhi syarat;
  3. Atas dasar ketentuan pengadilan tersebut ayat (2) pasal ini, maka instansi pencatat kelahiran yang ada dalam daerah hukum Pengadilan yang bersangkutan mengeluarkan akte kelahiran bagi anak yang bersangkutan.

b. Perkawinan di luar Indonesia

Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang warganegara Indonesia atau seorang warganegara Indonesia dengan warganegara Asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara mana perkawinan itu dilangsungkan. Dan bagi warganegara Indonesia tidak melanggar ketentuan UUP ini.

Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami isteri itu kembali di wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka (Pasal 56).

c. Perkawinan Campuran

1) Arti Perkawinan Campuran
Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam UUP ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan. Karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.

2) Perolehan dan Kehilangan Kewarganegaraan
Bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/istrinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya, menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam undang-undang kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku (Pasal 58).

Kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat perkawinan atau putusnya perkawinan menentukan hukum yang berlaku, baik mengenai hukum publik maupun mengenai hukum perdata. Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut Undang-undang Perkawinan ini (Pasal 59).

3) Syarat-syarat melangsungkan perkawinan campuran menurut pasal 60, bahwa:
  1. Perkawinan campuran tidak dapat dilangsungkan sebelum terbukti bahwa syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing telah dipenuhi;
  2. Untuk membuktikan bahwa syarat-syarat tersebut dalam ayat (1) telah dipenuhi dan karena itu tidak ada rintangan untuk melangsungkan perkawinan campuran, maka oleh mereka yang menurut hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing berwenang mencatat perkawinan, diberikan surat keterangan bahwa syarat-syarat telah dipernuhi.
  3. Jika pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan surat keterangan itu, maka atas permintaan yang berkepentingan. Pengadilan memberikan keputusan dengan tidak beracara serta tidak boleh dimintakan banding lagi tentang soal apakah penolakan pemberian surat keterangan itu beralasan atau tidak.
  4. Jika pengadilan memutuskan bahwa penolakan tidak beralasan, maka keputusan itu menjadi pengganti keterangan yang tersebut ayat (3).
  5. Surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak mempunyai kekuatan lagi jika perkawinan itu tidak dilangsungkan dalam masa 6 (enam) bulan sesudah keterangan itu diberikan.
4) Pencatatan Perkawinan Campuran
Perkawinan campuran dicatat oleh pencatat yang berwenang. Barangsiapa melangsungkan perkawinan campuran tanpa memperlihatkan lebih dahulu kepada pegawai pencatat yang berwenang surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan yang disebut dalam pasal 60 ayat (4) Undang-undang ini dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 1 (satu) bulan.

Pegawai pencatat perkawinan yang mencatat perkawinan sedangkan ia mengetahui bahwa keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak ada, dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan dihukum dengan hukum jabatan (Pasal 61).

Selanjutnya dalam Pasal 62 UUP ditegaskan bahwa, dalam perkawinan campuran kedudukan anak diatur sesuai dengan pasal 59 ayat (1), yaitu bahwa kewarganegaraan si anak yang diperoleh sebagai akibat perkawinan atau putusnya perkawinan orang tuanya menentukan hukum yang berlaku, baik mengenai hukum publik maupun mengenai hukum perdata.

d. Pengadilan

Yang dimaksud dengan pengadilan dalam UUP ini adalah:
  1. Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam;
  2. Pengadilan Umum bagi lainnya.

Bibliografi

Note: Untuk menuntaskan bab ketujuh dengan judul Dasar-dasar Hukum Perdata ini dari materi mata kuliah Pengantar Hukum Indonesia. Silahkan klik tombol berikut untuk lanjut ke sesi berikutnya. 👇👇👇
Adam Malik
Pendiri https://www.situshukum.com yang sudah bergelar S.H namun juga gemar dengan dunia Teknologi. Salam Kenal!

Related Posts

Post a Comment

Subscribe Our Newsletter