Bentuk-bentuk Peraturan Perundang-undangan (Menurut UUD 1945, TAP MPR dan UU No. 10 Tahun 2004)

Bentuk-bentuk Peraturan Perundang-undangan

1. Menurut Undang-Undang Dasar 1945

Berdasarkan UUD 1945 (setelah amandemen) bentuk-bentuk atau macam-macam Peraturan perundang-undangan yang dibuat oleh Pemerintah (Eksekutif), Legislative (DPR), dan MPR serta Pemerintah Daerah adalah sebagai berikut:

a. Undang-Undang Dasar (Pasal 3 UUD 1945)

Menurut Pasal 3 Undang-Undang Dasar 1945, MPR mempunyai kekuasaan menetapkan dan mengubah Undang-Undang Dasar. Kekuasaan MPR ini menurut penulis juga termasuk atau identik dengan membuat Undang-Undang Dasar.

Undang-Undang Dasar adalah Konstitusi negara yang tertulis, sebagai hukum dasar yang tertinggi dalam suatu negara. Undang-Undang Dasar merupakan hukum dasar yang tertinggi atau sebagai dasar hukum yang tertinggi bagi peraturan perundang-undangan di bawahnya.

Dengan demikian peraturan perundang-undangan dibawahnya tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang Dasar.

b. Undang-undang (Pasal 5 ayat (1) jo Pasal 20 ayat (2) UUD 1945)

Undang-undang adalah peraturan hukum atau keputusan hukum yang dibuat oleh Eksekutif (pemerintah) bersama-sama dengan parlemen atau legislatif (DPR) untuk melaksanakan dan menjabarkan aturan-aturan yang diatur dalam UUD. Undang-undang ini sebagai pelaksana UUD.

c. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Pasal 22 ayat (1) UUD 1945)

Peraturan Pemerintah Pengganti undang-undang (Perpu) adalah Peraturan Pemerintah yang dibuat oleh Presiden dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa sebagai pengganti undang-undang.

Kedudukan Perpu sederajat dengan UU. Perpu dibuat oleh Presiden karena keadaan kegentingan yang memaksa yang memerlukan tindakan cepat dalam waktu singkat. Selain itu juga bertujuan untuk mengisi kekosongan hukum (undang-undang). Misal: negara dalam keadaan darurat atau bahaya dan belum ada undang-undang yang mengatur untuk mengatasi keadaan darurat tersebut.

Setelah keadaan darurat atau kegentingan yang memaksa berakhir, Perpu harus diajukan ke DPR untuk mendapatkan persetujuan DPR.

Apabila Perpu masih dianggap perlu oleh DPR untuk kepentingan masyarakat, maka Perpu kemudian ditetapkan sebagai undang-undang, tetapi apabila tidak diperlukan atau bertentangan dengan UUD maka perpu dinyatakan tidak berlaku atau harus dicabut oleh Presiden.

d. Peraturan Pemerintah (Pasal 5 ayat (2) UUD 1945)

Peraturan pemerintah adalah peraturan hukum atau keputusan hukum yang dibuat oleh Pemerintah (eksekutif) untuk melaksanakan undang-undang agar berlaku secara riil dan mempunyai kekuatan hukum mengikat terhadap masyarakat.

e. Peraturan Daerah (Pasal 18 ayat (6) UUD 1945)

Peraturan Daerah adalah peraturan hukum atau keputusan hukum yang dibuat oleh Pemerintah Daerah bersama dengan DPRD untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan di daerah. Peraturan daerah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

2. Menurut Ketetapan MPR

Walaupun lembaga MPR menurut UUD 1945 (sebelum amandemen) tidak mempunyai kewenangan untuk membuat peraturan perundang-undangan (kecuali GBHN) tetapi dalam praktek ketatanegaraan Republik Indonesia.

MPRS/ MPR pernah membuat produk perundang-undangan dengan nama Ketetapan MPR, diantaranya adalah Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966.

Ketetapan MPR No. XX/MPRS/1966 mengatur urut-urutan Peraturan Perundang-undangan sebagai berikut:
  1. Undang-Undang Dasar RI 1945;
  2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap.MPR);
  3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti undang-undang;
  4. Peraturan Pemerintah;
  5. Keputusan Presiden;
  6. Peraturan-peraturan pelaksana lainnya seperti:
    • peraturan menteri;
    • instruksi menteri;
    • dll.
Tata urutan (hierarki) Peraturan Perundang-undangan dalam Ketetapan MPR No. XX/MPRS/1966 kedudukannya tidak dapat diubah. Tata urutan tersebut menunjukkan tingkat kedudukan atau tinggi rendahnya peraturan perundang-undangan.

Artinya peraturan-pearuran di bawahnya tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya.

Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 sampai pada tahun 1973  berlakunya tetap dipertahankan dengan ditetapkannya Ketetapan MPR No. V/MPR/1973 tentang Tata Urutan Peraturan Perundangan R.I.

Ketetapan MPR No. V/MPR/1973 keberlakuannya masih dipertahankan oleh MPR dengan ditetapkannya menjadi Ketetapan MPR No.IX/MPR/1978. Setelah tahun 2000 Ketetapan MPR No. IX/MPR/1978 dinyatakan tidak berlaku atau dicabut dengan diberlakukannya Ketetapan MPR No. III/MPR/2000.

Setelah reformasi, maka  pada tahun 2000, MPR menetapkan Ketetapan MPR RI No. III/MPR/2000 tentang Sumber hukum dan Tata Urut-urutan peraturan perundang-undangan.

Menurut Pasal 2 Ketetapan MPR RI No. III/MPR/2000 disebutkan bahwa, Tata Urut-urutan Peraturan Perundang-undangan RI adalah sebagai berikut:
  1. Undang-Undang Dasar RI 1945;
  2. Ketetapan MPR-RI;
  3. Undang-Undang;
  4. Peraturan Pemerintah Pengganti undang-undang (Perpu);
  5. Peraturan Pemerintah;
  6. Keputusan Presiden;
  7. Peraturan Daerah.
Kelemahan Ketetapan MPR tersebut karena menempatkan Perpu di bawah undang-undang. Masalahnya menurut pasal 22 UUD 1945 Perpu adalah sebagai pengganti undang-undang dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa dan kedudukannya sederajat dengan Undang-undang.

3. Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004

Karena kelemahan Ketetapan MPR No. III/MPR RI/2000 yang menempatkan Perpu di bawah Undang-undang, kemudian pada tahun 2004 Pemerintah bersama DPR mengeluarkan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Menurut pasal 7 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2004 jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai berikut:
  1. Undang-Undang Dasar 1945;
  2. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti undang-undang;
  3. Peraturan Pemerintah;
  4. Peraturan Presiden;
  5. Peraturan Daerah;
Selanjutnya di dalam ayat (2) disebutkan, Peraturan Daerah meliputi:
  1. Peraturan Daerah Propinsi yang dibuat oleh DPRD Propinsi bersama dengan Gubernur.
  2. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota dibuat oleh DPRD Kabupaten/Kota bersama dengan Bupati/Walikota.
  3. Peraturan Desa/Peraturan yang setingkat dibuat oleh Badan Perwakilan Desa atau nama lainnya bersama dengan Kepala Desa/nama lainnya.
Jenis Peraturan Perundang-undangan selain yang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi (Pasal 7 ayat (4).

Menurut Pasal 7 ayat (5) Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 bahwa, kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan adalah sesuai dengan hierarki sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 ayat (1).

4. Hak Uji Undang-Undang

Istilah “hak uji” menurut Kamus Hukum Belanda-Indonesia “Fockema Andreae”adalah “toetsing” berarti “pengujian” atau “penilaian” atau artinya menguji atau menilai suatu perbuatan apakah sesuai dengan norma norma yang lebih tinggi.

Istilah “toetsingsrecht” (Belanda) adalah kependekan dari “rechterlijk toetsingsrecht” artinya hak menguji atau hak menilai atau meneliti oleh hakim, apakah undang-undang bertentangan atau tidak  dengan undang-undang dasar (grondwet).

Keberadaan “hak uji undang-undang” oleh hakim terhadap undang-undang yang lebih tinggi atau toetsingsrecht (Belanda)  atau judicial review (Inggris) ini berkaitan dengan adanya asas “undang-undang tidak dapat diganggu gugat” (onschendbaar).

Artinya undang-undang tidak boleh diuji atau dinilai oleh siapapun termasuk oleh hakim. Pengujian oleh hakim diperbolehkan apabila diatur oleh undang-undang atau kostitusi.

Menurut teori hukum, ada dua macam hak menguji undang-undang (toetsingsrecht atau judicial review) oleh hakim, yaitu: pertama, hak menguji undang-undang secara formal (formele toetsingsrecht atau formal judicial review); kedua, hak menguji undang-undang secara material (materiele toetsingsrecht atau materiel judicial review).

Hak Uji Formal (formele toetsingsrecht) adalah wewenang untuk menilai, apakah suatu produk legislatif seperti undang-undang misalnya terjelma melalui cara-cara (prosedur) sebagaimana telah ditentukan/diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku atau tidak.

Hak Uji Material (materiele toetsingsrecht) adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu peraturan perundang-udangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende macht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu.

Definisi dari Sri Sumantri tersebut dapat disimpulkan atau sebagai pendapat penulis adalah :
Hak Uji Formal Undang-Undang (formele toetsingsrecht atau formal judicial review) adalah kewenangan hakim untuk menguji atau menilai apakah suatu undang-undang prosedur pembentukannya sudah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan adalah mencakup kewenangan yang membuat peraturan perundang-undangan, prosedur atau cara pembuatannya dan pengundangannya.

Hak Uji Material Undang-Undang (materiele toetsingsrecht atau materiel judicial review) adalah kewengan hakim untuk menguji atau menilai undang-undang apakah isinya bertentangan atau tidak dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Isi suatu undang-undang mencakup materi norma dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang.

Soepomo dalam bukunya “Sistem Hukum di Indonesia Sebelum Perang Dunia II” menyatakan, bahwa “Hakim menurut hukum tata negara “Hindia Belanda” berhak dan berkewajiban menguji apakah pengundangan dari undang-undang dan peraturan-praturan yang lain adalah sebagaimana patutnya (formele toetsingsrecht)”.

Menurut Mohamad Isnaini, bahwa “Hakim mempunyai wewenang sepenuhnya, bahkan sebelum Hakim menerapkan suatu peraturan, wajib mengetahui dengan pasti, apakah peraturan yang ia hadapi sesuai dengan keadaan lahirya, telah diundangkan sebagaimana mestinya, apakah sudah mulai berlaku atau masih mempunyai kekuatan berlaku”.

a. Hak Uji Undang-Undang oleh Mahkamah Agung

Undang-Undang Dasar 1945 sebelum diamandemen (diubah/direvisi) tidak mengatur hak uji peraturan-perundang-undangan. Tetapi setelah UUD 1945 diamandemen, hak uji peraturan perundang-undangan  diatur di dalam Pasal 24A dan Pasal 24C UUD 1945.

Berdasarkan Pasal 24A dan Pasal 24 C UUD 1945, kemudian dikeluarkan atau diberlakukan Undang-undang No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi (UUMK), dan Undang-undang No. 4 Tahun 2004 yang kemudian diubah menjadi Undang-undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (UUKK), serta Undang-undang No. 5 Tahun 2004  yang kemudian diubah menjadi Undang-undang No. 3 Tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung (UUMA).

Pasal 11 ayat (2) huruf b. UUKK jo,  Pasal 31 ayat (1) UUMA mengatur kewenangan Mahkamah Agung melakukan “hak uji” peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang.

Selanjutnya dalam Pasal 31 ayat (2) UUMA ditentukan bahwa Mahkamah Agung menyatakan tidak sah peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.

Dari Pasal 31 ayat (2) UUMA dapat diketahui bahwa Mahkamah Agung mempunyai kewenangan  hak uji undang-undang (judicial review) baik hak uji material maupun hak uji formal.

Hak uji material peraturan perundang-undangan oleh Mahkamah Agung adalah kewenangan Mahkamah Agung menguji atau menilai muatan materi dalam ayat, pasal, dan/atau bagian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang jika bertentangan dengan undang-undang.

Dengan kata lain “hak uji material” oleh Mahkamah Agung, adalah kewenangan Mahkamah Agung menguji atau menilai peraturan peraundang-undangan di bawah undang-undang apakah isinya bertentangan atau tidak dengan undang-undang.

Selain melakukan hak uji material, Mahkamah Agung berwenang pula melakukan “hak uji formal” yaitu kewenangan Mahkamah Agung  menguji atau menilai prosedur dan kewenangan pembentukan  peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, apakah memenuhi atau tidak dengan  ketentuan pembentukan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dengan kata lain hak uji formal peraturan perundang-undangan oleh Mahkamah Agung adalah kewenangan Mahkamah Agung menguji atau menilai apakah pembentukan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang bertentangan atau tidak dengan ketentuan yang berlaku.

Hak uji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dapat dimohonkan atau diajukan pada tingkat kasasi atau dengan permohonan langsung kepada Mahkamah Agung.

Putusan mengenai tidak sahnya peraturan perundang-undangan sebagaimana yang dimaksud pada pasal 31 ayat (2) UUMA dapat diambil pada pemeriksaan di tingkat kasasi maupun berdasarkan permohonan langsung kepada Mahkamah Agung (Pasal 31 ayat (3) UUMA).

Peraturan perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah sebagaimana dimaksud dalam pasal 31 ayat (3) UUMA tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Putusan MA yang amar putusannya menyatakan tidak sahnya suatu peraturan perundang-undangan wajib dimuat dalam Berita Negara Indonesia dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak putusan diucapkan (Pasal 31 ayat (5) UUMA).

b. Hak Uji Undang-Undang oleh Mahkamah Konstitusi

Sejak UUD 1945 diamandemen ketiga, keberadaan dan kewenangan Mahkamah Konstitusi diatur dalam Pasal 24 ayat (2) jo Pasal 24C UUD 1945. Sebelum diamandemen, UUD 1945 tidak mengatur hak uji undang-undang dan Mahkamah Konsitusi.

Di dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 disebutkan bahwa Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan menguji undang-undang terhadap UUD 1945.

Pasal 24C UUD 1945 ini kemudian diatur lebih lanjut di dalam Pasal 12 ayat (1) huruf a. Undang-undang No. 4 Tahun 2004  yang kemudian diubah menjadi Undang-undang No. 48 Tahun 2009  Tentang Kekuasaan Kehakiman (UUKK) dan di dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi (UUMK).

Dalam Pasal 12 ayat (1) huruf a. UUKK menentukan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: “menguji undang-undang terhadap UUD R.I. 1945”.

Demikian pula di dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a. UU. No 24 Tahun 2003 (UUMK) menentukan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk: “menguji undang-undang terhadap UUD R.I.  1945”.

Selanjutnya di dalam Pasal 51 ayat (3) UUMK ditentukan bahwa pemohon hak uji wajib menguraikan dengan jelas mengenai “pembentukan undang-undang” yang tidak memenuhi ketentuan UUD 1945, dan “materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian” undang-undang yang bertentangan dengan UUD RI 1945.

Selain diatur dalam Pasal 51 ayat (3), menurut Pasal 56 jo Pasal 57 ayat (1 dan 2) UUMK, Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan melakukan hak uji undang-undang terhadap UUD 1945, baik mengenai materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian undang-undang maupun pembentukannya apabila bertentangan dengan  UUD RI 1945.

Dari ketentuan Pasal 24C UUD 1945, jo. Pasal 12 ayat (1) UUKK  jo. Pasal 10 ayat (1) jo. Pasal 51 ayat (3) jo. Pasal 56 jo. Pasal 57 ayat (1 dan 2) UUMK tersebut dapat diketahui bahwa Mahkamah Konstitusi mempunyai kewenangan melakukan hak uji undang-undang terhadap UUD 1945 atau yang dikenal dengan “pengujian konstitusional” (constitutional review).

Kewenangan uji undang-undang terhadap UUD 1945 (constitutional review) oleh Mahkamah Konstitusi, penulis membedakan ada 2 (dua) macam yaitu hak uji material (materiel constitutional review) dan hak uji formal (formal constitutional review).

Hak uji material (materiel constitutional review) oleh Mahkamah Konstitusi, adalah kewenangan Mahkamah Konsitusi menguji atau menilai materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang jika bertentangan dengan UUD RI 1945.

Dengan kata lain adalah kewenangan Mahkamah Konstitusi menguji atau menilai undang-undang, apakah isinya bertentangan ataukah tidak dengan UUD RI 1945. Adapun hak uji formal (formal constitutional review), artinya adalah kewenangan Mahkamah Konstitusi menguji atau menilai  prosedur dan kewenangan pembentukan undang-undang, apakah memenuhi atau tidak menurut ketentuan pembentukan berdasarkan UUD RI 1945.

Dengan kata lain adalah kewenangan hakim Mahakamah Konstitusi menguji atau menilai, apakah pembuatan atau pembentukan undang-undang sesuai atau tidak dengan ketentuan UUD RI 1945.

Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap, sah dan mengikat sejak selesai diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum (Pasal 28 ayat (5 dan 6) jo Pasal 47 UUMK).

Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan wajib dimuat dalam Berita Negara dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak putusan diucapkan (Pasal 57 ayat (3) UUMK).

Undang-undang yang diuji (material maupun formal) oleh Mahkamah Konstitusi tetap berlaku, sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD RI 1945 (Pasal 58 UUMK).

Dengan demikian menurut UUD 1945, Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, dan Undang Undang Mahkamah Konstitusi, bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang melakukan uji undang-undang terhadap UUD (constitutional review).

Constitutional review merupakan bagian “judicial review” apabila dilakukan oleh hakim atau lembaga pengadilan atau “judicial” (judiciary). Jika constitutional review tidak dilakukan oleh hakim atau lembaga judicial (judiciary), maka constitutional review tidak dapat disebut “judicial review”.

Pengertian “judicial review” atau “toetsingsrecht” lebih luas daripada “constitutional review”. Judicial Review atau “toetsingsrecht” mencakup “constitutional review dan hak uji terhadap seluruh peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dengan UUD dengan syarat hak uji dilakukan oleh hakim atau lembaga pengadilan (judiciary).

Apabila hak uji peraturan perundang-undangan tidak dilakukan oleh hakim atau lembaga pengadilan, maka tidak dapat disebut “judicial review”, bisa saja disebut “legislative review” apabila hak uji dilakukan oleh lembaga legislative; atau disebut “executive review” apabila hak uji dilakukan oleh lembaga eksekutif.

Demikian pula jika pengujian peraturan perundang-undangan bersifat “a priory” misalnya pengujian terhadap rancangan peraturan perundang-undangan yang sudah disyahkan tetapi belum diundangkan, disebut “judicial preview”.

Jika yang dimohonkan pengujian adalah rancangan undang-undang dan bertentangan dengan UUD disebut “constitutional preview”.

Mengenai istilah atau pengertian hak uji atau “toetsingsrecht” (bahasa Belanda) ini, oleh Jimly Asshiddiqie dibedakan antara “toetsingsrecht”, “judicial review”, “juicial preview”, “legislative review”, “executive review”, “constitutional review”.

Menurut Jimly, hak atau kewenangan menguji atau hak menguji atau hak uji dalam bahasa Belandanya disebut “toetsingsrecht”. Jika hak uji (toetsingsrecht) itu diberikan kepada hakim, maka namanya adalah “judicial review” atau review oleh lembaga peradilan.

Jika kewenangan menguji diberikan kepada lembaga legislative, maka namanya bukan “judicial review” melainkan “legislative review”. Jika yang melakukan pengujian itu adalah pemerintah, maka namanya tidak lain adalah “executive review”, bukan “judicial review”.

Jika pengujian dilakukan terhadap norma hukum yang bersifat abstrak dan umum (general and abstract norms) secara “a posteriori”, maka pengujian dapat disebut sebagai “judicial review”, tetapi jika pengujian itu bersifat “a priori” yaitu terhadap rancangan undang-undang yang telah disahkan oleh parlemen tetapi belum diundangkan sebagaimana mestinya, maka namanya bukan “judicial review”, melainkan “judicial preview”.

Jika ukuran pengujian itu dilakukan dengan menggunakan”konstitusi” sebagai alat pengukur, maka pengujian semacam itu disebut seagai “constitutional review” atau pengujian konstitusional, yaitu pengujian mengenai konstitusionalitas dari norma hukum yang sedang diuji (judicial review on the constitutionality of law).

Masih menurut Jimly Asshiddiqie, apabila norma yang diuji itu menggunakan “undang-undang” sebagai batu ujinya (maksudnya alat pengukur), seperti hak uji yang dilakukan oleh Mahakamah Agung berdasarkan Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, maka pengujian itu tidak dapat disebut “constitutional review”, melainkan“judicial review on the legality of regulation”.

Dari uraian di muka dapat disimpulkan bahwa menurut hukum positif Indonesia (UUD 1945, Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Mahakamah Konstitusi, dan Undang-Undang Mahkamah Agung), Mahkamah Konstitusi berwenang menguji undang-undang terhadap UUD 1945 (constitutional review), dan Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang (judicial review atau toetsingsrecht).

Bibliografi

  • Umar Said Sugiharto, 2009, Pengantar Hukum Indonesia. Malang: Publikasi Online.
  • Sri Sumantri. 1982. Hak Uji Materiil di Indonesia. Bandung: Alumni.
  • R. Soepomo. 1983. Sistem Hukum di Indonesia sebelum Perang Dunia II. Jakarta: Pradnya Paramita.
  • Mohamad Isnaini.1971. Hakim dan Undang-Undang. Cet, II. Semarang: IKAHI Cabang Semarang.
  • Jimly Asshiddiqie, 2005. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Jakarta Pusat: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI.
Adam Malik
Pendiri https://www.situshukum.com yang sudah bergelar S.H namun juga gemar dengan dunia Teknologi. Salam Kenal!

Related Posts

Post a Comment

Subscribe Our Newsletter