Penyertaan (Deelneming): Pengertian, Bentuk, dan Aturannya Dalam KUHP

Post a Comment

Penyertaan (Deelneming)

Situs Hukum -
 Setelah mempelajari pokok bahasan ini diharapkan kamu nantinya bisa dan mampu memahami materi kuliah hukum pidana tentang percobaan sebagai suatu perbuatan yang dapat dipidana.

A. Pengertian Deelneming

Ajaran mengenai deelneming itu menurut van Hamel, sebagai suatu ajaran yang bersifat umum, pada dasarnya merupakan suatu ajaran mengenai pertanggungjawaban dan pembagian pertanggung-jawaban, yakni dalam hal dimana suatu delik yang menurut rumusan undang-undang sebenarnya dapat dilakukan oleh seseorang secara sendirian, akan tetapi dalam kenyataannya telah dilakukan oleh dua orang atau lebih dalam suatu kerjasama yang terpadu baik secara psikis (intelektual) maupun secara material. 

Ketentuan berkenaan dengan masalah pelaku (dader) dan keikutsertaan (deelneming) terdapat dalam Pasal 55 dan 56 KUHP.

Pasal 55 KUHP menyatakan:

(1) Dihukum sebagai orang yang melakukan peristiwa pidana:
1e. Orang yang melakukan, yang menyuruh melakukan atau turut melakukan perbuatan itu;
2e. Orang yang dengan pemberian, perjanjian, salah memakai kekuasaan atau pengaruh, kekerasan, ancaman atau tipu daya atau dengan memberikan kesempatan, daya upaya atau keterangan, sengaja membujuk untuk melakukan sesuatu perbuatan.

(2) Tentang orang-orang yang tersebut dalam sub 2e itu yang boleh dipertanggungkan kepadanya hanyalah perbuatan yang dengan sengaja dibujuk oleh mereka itu, serta dengan akibatnya 

Pasal 56 KUHP:

Dihukum sebagai orang yang membantu melakukan kejahatan:

1e. Barangsiapa dengan sengaja membantu melakukan kejahatan itu;
2e. Barangsiapa dengan sengaja memberi kesempatan, daya upaya atau keterangan untuk melakukan kejahatan itu.

Adapun maksud ketentuan pidana dalam Pasal 55 KUHP dengan sengaja telah dibentuk oleh pembentuk undang-undang dengan maksud untuk mengatur pertanggungjawaban menurut hukum pidana dari setiap orang yang terlibat di dalam suatu tindak pidana kecuali pelakunya sendiri, oleh karena tanpa adanya ketentuan pidana seperti yang telah diatur dalam Pasal 55 KUHP itu, orang-orang tersebut menjadi tidak dapat dihukum.

B. Pengertian Pelaku (Dader)

Pada delik formal, yakni delik-delik yang dapat dianggap telah selesai dilakukan oleh pelakunya, yaitu segera setelah pelakunya itu melakukan suatu tindakan yang dilarang oleh undang-undang ataupun segera setelah pelaku tersebut tidak melakukan sesuatu yang diwajibkan oleh undang-undang, untuk memastikan siapa yang harus dipandang sebagai seorang dader itu, memang tidak sulit. Orang tinggal menemukan siapa yang sebenarnya telah melakukan pelanggaran terhadap larangan atau keharusan yang telah disebutkan di dalam undang-undang.

Lain halnya apabila orang harus memastikan siapa yang harus dipandang sebagai seorang dader pada delik-delik material, oleh karena untuk dapat memastikan siapa yang harus dipandang sebagai dader itu, sebelumnya orang harus telah dapat memastikan apakah suatu tindakan itu dapat dipandang sebagai suatu penyebab dari suatu akibat yang timbul ataupun tidak. 

van Hattum sebagaimana dikutip oleh dalam Lamintang menjelaskan bahwa bahwa apa yang disebut dengan (ajaran kausalitas) itu mempunyai arti yang sangat penting di dalam ajaran daderschap pada khususnya dan di dalam ajaran mengenai deelneming pada umumnya.  

Pengertian dader atau pelaku dari suatu tindak pidana menurut van Hamel adalah: 

Pelaku suatu tindak pidana itu hanyalah dia, yang tindakannya atau kealpaannya memenuhi semua unsur dari delik seperti yang terdapat di dalam rumusan delik yang bersangkutan, baik yang telah dinyatakan secara tegas maupun yang tidak dinyatakan secara tegas. Jadi pelaku itu adalah orang yang dengan seorang diri telah melakukan tindak pidana yang bersangkutan.

Pengertian dader seperti tersebut di atas dapat dibandingkan dengan pula telah rumusan dader menurut Simons sebagai berikut:

Pelaku suatu tindak pidana itu adalah orang yang melakukan tindak pidana yang bersangkutan, dalam arti orang yang dengan suatu kesengajaan atau suatu ketidaksengajaan seperti yang disyaratkan oleh undang-undang telah menimbulkan suatu akibat yang tidak dikehendaki oleh undang-undang atau telah melakukan tindakan yang terlarang atau mengalpakan tindakan yang diwajibkan oleh undang-undang, atau dengan perkataan lain ia adalah orang yang memenuhi semua unsur suatu delik seperti yang telah ditentukan di dalam undang-undang, baik itu merupakan unsur-unsur subyektif maupun unsur-unsur obyektif, tanpa memandang apakah keputusan untuk melakukan tindak pidana tersebut timbul dari dirinya sendiri atau timbul karena digerakkan pihak ketiga. 

Tegasnya dari kedua pendapat di atas, yang dipandang sebagai pelaku dari suatu tindak pidana yaitu dengan melihat pada bagaimana caranya tindak pidana tersebut dirumuskan dalam undang-undang ataupun pada sifat dari tindakan yang oleh undang-undang dinyatakan sebagai tindakan yang terlarang.

Dalam hal ini yang dipandang sebagai pelaku itu adalah semua orang yang disebutkan dalam Pasal 55 KUHP, sebagaimana dijelaskan oleh memori penjelasan KUHP bahwa semua orang yang telah disebutkan dalam Pasal 55 KUHP itu adalah pelaku.

C. Bentuk-bentuk Deelneming

Bentuk-bentuk deelneming atau keturutsertaan menurut ketentuan Pasal 55 dan 56 KUHP adalah:

  1. Doen plegen atau menyuruh melakukan.
  2. Medeplegen atau turut melakukan.
  3. Uitlokking atau menggerakkan orang lain dan
  4. Medeplichtigheid.

1. Pengertian Doen Plegen atau Menyuruh Melakukan

Pada doen plegen terdapat seseorang yang menyuruh orang lain melakukan suatu tindak pidana, dan seseorang lainnya yang disuruh melakukan tindak pidana tersebut.

Di dalam ilmu pengetahuan hukum pidana, orang yang menyuruh orang lain melakukan suatu tindak pidana biasanya disebut sebagai pelaku tidak langsung (middellijke dader). Disebut sebagai pelaku tidak langsung oleh karena ia memang tidak secara langsung melakukan sendiri tindak pidananya, melainkan dengan perantaraan orang lain.

Sedangkan orang lain yang disuruh melakukan suatu tindak pidana disebut sebagai pelaku material (materieele dader). 

Menurut ketentuan Pasal 55 KUHP, pelaku tidak langsung itu dapat dijatuhi hukuman yang sama beratnya dengan hukuman yang dapat dijatuhkan kepada pelakunya sendiri, dan dalam hal ini adalah hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku material (materieele dader).

2. Pengertian Medeplegen atau Turut Melakukan

Oleh karena di dalam bentuk deelneming selalu terdapat seorang pelaku dan seorang atau lebih pelaku yang turut melakukan tindak pidana yang dilakukan pelakunya, maka bentuk deelneming ini juga sering disebut sebagai suatu mededaderschap.

Dengan demikian, maka medeplegen itu juga merupakan suatu daderschap. Apabila seseorang itu  melakukan suatu tindak pidana, maka biasanya ia disebut sebagai seorang dader atau seorang pelaku. Apabila beberapa orang secara bersama-sama melakukan suatu tindak pidana, maka setiap peserta di dalam tindak pidana itu dipandang sebagai seorang mededader dari peserta atau peserta-peserta yang lain.

Di dalam praktek tidak mudah untuk menentukan pelaku dan pelaku penyerta tersebut. Dalam hal ini menurut pendapat van Hamel, suatu medeplegen itu hanya dapat dianggap sebagai ada, yaitu apabila tindakan tiap-tiap peserta di dalam suatu tindak pidana dapat dianggap sebagai telah menghasilkan suatu daderschap secara sempurna.

Menurut pendapat van Hattum, perbuatan medeplegen di dalam Pasal 55 KUHP itu haruslah diartikan sebagai suatu opzettelijk medeplegen atau suatu kesengajaan untuk turut melakukan suatu tindak pidana yang dilakukan orang lain.

Apakah dengan demikian untuk adanya suatu medeplegen itu sudah cukup apabila opzet seorang mededader itu ditujukan kepada perbuatan “turut melakukan” saja?.

Tentang hal tersebut menurut van Hattum, “kecuali bahwa opzet seorang mededader itu harus ditujukan kepada suatu kerjasama, opzet dari mededader tersebut harus juga ditujukan kepada unsur-unsur dari delik yang diliputi oleh opzet, yang harus dipenuhi oleh seorang pelaku”.

Ini berarti bahwa menurut van Hattum opzet seorang mededader itu harus ditujukan kepada:

  • Maksud untuk bekerja sama dengan orang lain dalam melakukan suatu tindak pidana, dan
  • Dipenuhinya semua unsur-unsur dari tindak pidana tersebut yang diliputi oleh unsur opzet, yang harus dipenuhioleh pelakunya sendiri, yakni sesuai dengan yang disyaratkan di dalam rumusan tindak pidana yang bersangkutan.

Menurut pendapat Hoge Raad (HR) untuk adanya suatu medeplegen itu disyaratkan bahwa setiap pelaku itu mempunyai maksud yang diperlukan serta pengetahuan yang disyaratkan. Untuk dapat menyatakan bersalah turut melakukan itu haruslah diselidiki dan dibuktikan bahwa pengetahuan dan maksud tersebut memang terdapat pada tiap peserta.

Pendapat HR di atas ternyata tidak diikuti oleh Mahkamah Agung RI, yang tidak memperhatikan adanya maksud yang sama diantara peserta, melainkan hanya memperhatikan tindakan peserta yang mana yang dapat dipandang sebagai wajar untuk disebut sebagai penyebab suatu akibat yang timbul.

Dalam putusan kasasinya tanggal 26 Juni 1971 nomor 15 K/Kr./1970, MA memberi putusan yang berbunyi:

“Perbuatan terdakwa II mengancam dengan pistol tidak memenuhi semua unsur di dalam Pasal 339 KUHP, terdakwa I-lah yang memukul si korban dengan sepotong besi yang mengakibatkan matinya si korban. Karena itu untuk terdakwa II kualifikasi yang sangat tepat adalah “turut melakukan” tindak pidana (medeplegen), sedangkan pembuat materialnya ialah terdakwa I”.

Di dalam putusan kasasi MA di atas tidak tampak adanya syarat bahwa untuk suatu medeplegen itu juga disyaratkan bahwa opzet para peserta dalam kejahatan itu harus pula ditujukan kepada medewerking atau pada kerjasama untuk melakukan kejahatan yang bersangkutan, melainkan hanya kepada dipenuhinya unsur-unsur dari rumusan tindak pidana di dalam Pasal 339 KUHP.

Untuk adanya suatu medeplegen itu justru yang perlu diperhatikan ialah ada atau tidaknya suatu volledig en nauwe samenwerking atau adanya suatu kerjasama yang lengkap dan bersifat demikian eratnya diantara para peserta di dalam kejahatan, oleh karena itu tanpa adanya kerjasama seperti itu, kita juga tidak dapat berbicara mengenai adanya suatu medeplegen.

Dari putusan kasasi di atas dapat diketahui bahwa MA telah mensyaratkan bahwa didalam suatu opzettelijk delict atau di dalam suatu tindak pidana yang menurut ketentuan undang-undang harus dilakukan dengan sengaja itu, opzet para medepleger harus juga ditujukan kepada semua unsur dari delik yang bersangkutan.   

Tentang hal ini Pompe (dalam Lamintang, 1984: 597), menyatakan antara lain: 

Demikian halnya agar seseorang yang turut melakukan itu dapat dihukum, maka orang tersebut harus mempunyai opzet dan memenuhi lain-lain unsur dari delik yang bersangkutan. Apabila opzet tersebut tidak terdapat pada orang yang turut melakukan, maka orang tersebut tidak dapat dihukum karena telah turut melakukan..., Oleh karena itu sama halnya dengan dapat dihukumnya seseorang yang telah ‘menyuruh melakukan’, maka untuk dapat dihukumnya seseorang yang telah “turut melakukan” itu disyaratkan, bahwa mereka itu harus mempunyai suatu opzet yang ditujukan kepada tindak pidana yang ingin mereka lakukan.

Sekarang timbul pertanyaan, dimanakah letak perbedaan antara suatu medeplegen dengan suatu medeplichtigheid itu?.

Tentang hal ini dapat dilihat penjelasan dalam Memorie van Toelichting (MvT) yang antara lain menyebutkan:

Yang membedakan seorang yang turut melakukan dari seorang yang membantu melakukan itu adalah, bahwa orang yang disebutkan pertama itu secara langsung telah ikut mengambil bagian di dalam pelaksanaan suatu tindak pidana yang telah diancam dengan suatu hukuman oleh undang-undang, atau telah secara langsung turut melakukan suatu perbuatan atau turut melakukan perbuatan-perbuatan untuk menyelesaikan tindak pidana yang bersangkutan; sedang orang yang disebut terakhir itu hanyalah memberikan bantuan untuk melakukan perbuatan atau perbuatan-perbuatan seperti dimaksud di atas.

Adapun untuk menentukan batas-batas antara mededaderschap dan medeplichtigheid itu, di dalam ilmu pengetahuan hukum pidana pada dasarnya terdapat dua paham yaitu de objectieve deelnemingstheorie dan de subjectieve deelnemingstheorie.

Menurut objectieve deelnemingstheorie, apakah terdapat suatu mededaderschap ataukah suatu medeplichtigheid, hal mana digantungkan pada sifat dari perbuatan yang telah dilakukan seseorang.

Teori ini mensyaratkan adanya suatu tindakan yang juga dapat dianggap sebagai penyebab dari terjadinya suatu tindak pidana, atau juga dapat dianggap sebagai sebagian dari tindakan untuk melaksanakan suatu tindak pidana, yang mampu membuat tindak pidana tersebut menjadi suatu kenyataan. 

Menurut subjectieve deelnemingstheorie, terutama dari von Buri, apakah terdapat suatu mededaderschap ataukah suatu medeplichtigheid itu, hal mana digantungkan pada kenyataan apakah tujuan atau maksud sesorang itu tergantung pada tujuan atau maksud orang lain ataupun tidak.

Jadi menurut teori ini, seorang mededader itu mempunyai tujuan sendiri, dan tidak menginginkan akibat perbuatannya itu harus digantungkan pada kehendak orang lain. Sedangkan seorang medeplichtige itu menggantungkan tujuannya pada tujuan seorang pelaku, dan menggantungkan akibat perbuatannya pada si pelaku, yakni selama pelaku tersebut menghendaki timbulnya suatu akibat.

Dengan demikian adanya suatu kesadaran diantara para peserta di dalam suatu tindak pidana bahwa mereka telah melakukan suatu kerjasama untuk melakukan suatu tindak pidana itu merupakan suatu faktor yang sangat penting di dalam suatu mededaderschap, atau dapat dikatakan sebagai suatu faktor yang menentukan untuk dapat mengatakan bahwa disitu terdapat suatu medeplegen atau suatu keturutsertaan melakukan suatu tindak pidana.

3. Pengertian Uitlokken atau menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana

Van Hamel telah merumuskan uitlokking itu sebagai berikut: 

Kesengajaan menggerakkan orang lain yang dapat dipertanggungjawabkan pada dirinya sendiri untuk melakukan suatu tindak pidana dengan menggunakan cara-cara yang telah ditentukan oleh undang-undang, karena telah bergerak, orang tersebut kemudian telah dengan sengaja melakukan tindak pidana yang bersangkutan”.

Dari rumusan di atas dapat diketahui bahwa antara doen plegen atau menyuruh melakukan dengan uitlokken atau menggerakkan orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana itu terdapat suatu kesamaan, yaitu bahwa di dalam doen plegen itu orang yang telah menyuruh melakukan suatu tindak pidana, ataupun yang di dalam doktrin juga sering disebut sebagai doen pleger atau manus domina itu telah tidak melakukan sendiri tindak pidana yang dikehendakinya, melainkan dengan perantaraan orang lain, yang biasanya disebut sebagai de materiele dader ataupun yang juga sering disebut sebagai manus ministra.

Sedang di dalam uitlokking itu, orang yang telah menggerakkan orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana, ataupun yang didalam doktrin sering juga disebut sebagai de uitlokker atau provocateur atau agent provocateur atau lokbeambte itu juga telah tidak melakukan sendiri tindak pidana yang dikehendakinya, melainkan dengan perantaraan orang lain, yang biasanya disebut sebagai de uitgelokte atau sebagai orang yang telah digerakkan.

Di dalam doktrin, orang yang telah menggerakkan orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana itu kecuali disebut sebagai agentprovocateur atau sebagai lokbeambte, ia juga sering disebut sebagai auctor intellectualis ataupun sebagai intellectueel dader.

Walaupun antara doen plegen dengan uitlokken itu terdapat suatu kesamaan, akan tetapi di antara kedua bentuk deelneming tersebut juga terdapat perbedaan-perbedaan, yaitu antara lain adalah:

  1. Orang yang disuruh melakukan suatu tindak pidana di dalam doen plegen itu haruslah merupakan orang yang niet-toerekenbaar atau haruslah merupakan orang yang perbuatannya tidak dapat dipertanggungjawabkan, sedang orang yang telah digerakkan untuk melakukan suatu tindak pidana itu haruslah merupakan orang yang sama halnya dengan orang yang telah menyuruh, dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya atau toerekenbaar.
  2. Cara-cara yang dapat dipergunakan oleh seseorang yang telah menyuruh melakukan suatu tindak pidana di dalam doen plegen itu tidak ditentukan oleh undang-undang, sedang cara-cara yang harus dipergunakan oleh seseorang yang telah menggerakkan orang lain untuk melakukan suatu tindak pidana di dalam uitlokking itu telah ditentukan secara limitatif dalam undang-undang.

Perlu dijelaskan di sini bahwa di dalam doenplegen itu yang disyaratkan bukanlah bahwa orang yang telah disuruh melakukan suatu tindak pidana itu harus merupakan orang yang ontoerekeningsvatbaar, artinya bahwa orang tersebut haruslah merupakan seseorang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya seperti yang dimaksud dalam Pasal 44 KUHP, melainkan bahwa perbuatan orang yang telah disuruh melakukan suatu tindak pidana itu merupakan suatu perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut. Atau dengan perkataan lain, perbuatan orang yang telah disuruh melakukan suatu tindakpidana itu haruslah niet-toerekenbaar.

Hal itu sejalan dengan penjelasan yang terdapat dalam MvT yang antara lain menyebutkan: 

“Pelaku langsung (dari suatu tindak pidana) itu merupakan seorang manus ministra yaitu orang yang bertindak tanpa opzet (dolus), tanpa schuld (culpa) atau tanpa toerekenbaarheid (tanpa perbuatannya itu dapat dipertanggungjawabkan kepadanya), disebabkan oleh ketidak tahuan pada dirinya, oleh kesalahpahaman, yang memang dikehendaki oleh orang yang menyuruh atau oleh kekerasan yang telah berpengaruh pada dirinya”.

Dari rumusan Pasal 55 ayat 1 angka 2 KUHP itu dapat diketahui, bahwa suatu uitlokking itu harus dilakukan dengan sengaja atau secara opzettelijk. Dan opzet seorang uitlokker itu harus ditujukan kepada feit-nya atau kepada tindak pidananya, yakni tindak pidana yang ia harapkan akan dilakukan oleh orang yang telah ia gerakkan dengan mempergunakan salah satu cara yang telah disebutkan di dalam Pasal 55 ayat (1) angka 2 KUHP tersebut.

Dengan demikian, apabila seorang uitlokker itu menghendaki agar de uitgelokte melakukan suatu pembunuhan seperti yang telah dilarang di dalam Pasal 338 KUHP, maka opzet dari uitlokker tersebut haruslah pula ditujukan kepada tindak pidana pembunuhan yang bersangkutan. Dan ini berarti pula uitlokker tersebut harus memenuhi semua unsur dari tindak pidana pembunuhan seperti yang terdapat dalam rumusan Pasal 338 KUHP.

Bagaimana dengan opzet dari orang yang telah digerakkan untuk melakukan pembunuhan tersebut?

Van Hamel berpendapat, bahwa secara yuridis opzet dari orang yang telah digerakkan untuk melakukan suatu tindak pidana itu haruslah identik dengan opzet dari orang yang telah menggerakkan orang tersebut untuk melakukan tindak pidana yang bersangkutan. 

Jadi opzet dari orang yang telah digerakkan untuk melakukan pembunuhan itu harus pula sama dengan opzet dari uitlokker-nya. Dan ini berarti pula bahwa sama halnya dengan uitlokker-nya, maka orang yang telah digerakkan untuk melakukan pembunuhan itu harus juga memenuhi semua unsur dari tindak pidana pembunuhan seperti yang terdapat di dalam rumusan Pasal 338 KUHP.

Untuk adanya suatu uitlokking itu haruslah dipenuhi dua syarat obyektif, yaitu: 

  1. Bahwa perbuatan yang telah digerakkan untuk dilakukan oleh orang lain itu harus menghasilkan suatu voltooid delict atau suatu delik yang selesai, atau menghasilkan suatu strafbarepoging atau suatu percobaan yang dapat dihukum; dan
  2. Bahwa tindak pidana yang telah dilakukan oleh seseorang itu disebabkan karena orang tersebut telah tergerak oleh suatu uitlokking yang dilakukan oleh orang lain dengan menggunakan salah satu cara yang telah disebutkan di dalam Pasal 55 ayat 1 angka 2 KUHP.

Menurut van Hamel antara tindak pidana yang telah dilakukan oleh orang yang tergerak dengan uitlokking-nya itu sendiri harus terdapat suatu hubungan kausal, yang harus dibuktikan. Walaupun diakui bahwa untuk menyatakan terbuktinya hubungan kausal itu tidaklah mudah, dan biasanya orang menganggap bahwa hubungan kausal tersebut sebagai cukup terbukti, yaitu apabila secara nyata apa yang disebut “orang yang tergerak” itu telah melakukan suatu tindak pidana sebagaimana yang dikehendaki oleh orang yang menggerakkan.

Dengan demikian, maka perbuatan menggerakkan orang lain itu tidaklah perlu harus ditujukan kepada seseorang tertentu atau kepada orang-orang tertentu saja, melainkan ia juga dapat dilakukan secara umum, dalam arti ditujukan  kepada orang banyak. Dan sudah barang tentu untuk menggerakkan orang-orang tersebut harus pula dipergunakan salah satu cara seperti yang telah disebutkan secara limitatif di dalam Pasal 55 ayat 1 angka 2 KUHP.

Sebab bila tidak demikian, perbuatan menggerakkan orang banyak itu bukannya menghasilkan suatu uitlokking, melainkan ia akan menghasilkan suatu opruing atau suatu perbuatan menghasut seperti yangdimaksudkan di dalam Pasal 160 KUHP, dimana poging tot uitlokking atau percobaan untuk menggerakkan orang lain melakukan suatu tindak pidana itu telah dijadikan suatu kejahatan yang berdiri sendiri.

Diantara cara-cara yang harus dipergunakan oleh seorang uitlokker dalam menggerakkan orang lain melakukan suatu tindak pidana, terdapat beberapa cara yang sangat perlu mendapat perhatian yaitu:

  1. Penggunaan kekerasan atau ancaman dengan kekerasan. Penggunaan kekerasan atau ancaman dengan kekerasan itu sifatnya tidak boleh sedemikian rupa sehingga orang yang telah digerakkan untuk melakukan tindak pidana itu berada di dalam keadaan overmacht. Sebab apabila orang yang telah digerakkan untuk melakukan tindak pidana itu berada di dalam keadaan yang demikian, maka perbuatan orang tersebut menjadi niet-toerekenbaar atau menjadi tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada dirinya, dan ini berarti bahwa orang tidak lagi berhadapan dengan suatu uitlokking melainkan dengan suatu doen plegen.
  2. Perbuatan untuk membuat orang yang digerakkan menjadi mempunyai pandangan yang keliru dari orang yang telah digerakkan itu. Apabila sebagai akibat pandangan yang keliru dari orang yang telah digerakkan itu, orang tersebut menjadi tidak mempunyai schuld terhadap salah satu unsur delik, padahal undang-undang telah mensyaratkan tentang harus adanya unsur schuld (dolus atau culpa) pada pelakunya terhadap unsur tersebut, maka perbuatan orang yang telah digerakkan untuk melakukan suatu tindak pidana itu menjadi niet-toerekenbaar, sehingga dalam keadaan semacam itu orang tidak lagi berhadapan dengan suatu uitlokking melainkan dengan suatu doen plegen.
  3. Berkenaan dengan misbruik van gezag atau penyalahgunaan kekuasaan. Menurut Simons, “misbruik van gezag” itu menunjukan adanya sifat membawah dari orang yang digerakkan terhadap orang yang telah menggerakkan orang tersebut untuk melakukan suatu tindak pidana.

4. Pengertian Medeplichtigheid atau membantu melakukan tindak pidana

Menurut Simons, medeplichtigheid itu merupakan suatu onzelf standige deelneming atau suatu keturutsertaan yang tidak berdiri sendiri. Ini berarti bahwa apakah seorang medeplichtige itu dapat dihukum atau tidak, hal mana tergantung pada kenyataan, yaitu apakah pelakunya sendiri telah melakukan suatu tindak pidana atau tidak.

Bentuk medeplichtigheid yang pertama adalah kesengajaan membantu melakukan suatu kejahatan. Dengan demikian, maka setiap tindakan yang dilakukan orang dengan maksud membantu orang lain melakukan suatu kejahatan itu, dapat membuat orang tersebut dituntut dan dihukum karena dengan sengaja telah membantu orang lain, pada waktu orang lain tersebut sedang melakukan suatu kejahatan.

Bantuan yang dapat diberikan oleh seorang medeplichtige dapat merupakan bantuan yang bersifat material, yang bersifat moral ataupun yang bersifat intelektual.

Bentuk medeplichtigheid yang kedua adalah kesengajaan memberikan bantuan kepada orang lain untuk mempermudah orang lain tersebut melakukan suatu kejahatan. Bantuan ini dapat bersifat material misalnya menyerahkan senjata atau alat-alat kepada pelakunya, dan dapat pula bersifat intelektual, misalnya dengan memberikan kesempatan kepada orang lain untuk melakukan pencurian terhadap barang-barang yang berada di dalam pengawasannya.

Dari rumusan Pasal 56 KUHP dapat diketahui, bahwa pemberian bantuan seperti dimaksudkan di atas haruslah diberikan dengan sengaja (opzettelijk). 

Tentang opzet ini menurut Simons: ”Opzet seorang medeplichtige itu harus ditujukan kepada semua unsur dari tindak pidana yang bersangkutan, bahkan juga kepada unsur-unsur yang oleh undang-undang tidak disyaratkan, bahwa opzet pelakunya itu harus pula ditujukan kepada unsur-unsur tersebut”.  

Ini berarti bahwa walaupun kejahatan yang sedang atau yang akan dilakukan oleh pelakunya itu sebenarnya merupakan suatu culpoos misdrijf  atau suatu kejahatan yang menurut rumusannya di dalam undang-undang sebenarnya dapat dilakukan dengan tidak sengaja, akan tetapi terhadap kejahatan tersebut, seorang medeplichtige itu harus pula mempunyai suatu opzet. 

Agar seorang medeplichtige itu dapat dihukum, maka perbuatan medeplichtige itu harus memenuhi unsur yang bersifat obyektif dan unsur yang bersifat subyektif.

Perbuatan seorang medeplichtige itu dapat disebut telah memenuhi unsur yang bersifat subyektif, apabila perbuatan yang telah dilakukan oleh medeplichtige tersebut benar-benar telah dilakukan dengan sengaja, dalam arti bahwa medeplichtige tersebut memang mengetahui bahwa perbuatannya itu dapat mempermudah atau dapat mendukung dilakukannya suatu kejahatan oleh orang lain, dan perbuatan mempermudah atau mendukung dilakukannya suatu kejahatan oleh orang lain itu memang ia kehendaki. 

Contoh: Pembantuan sebelum pelaksanaan kejahatan.

B meminjam rencong pada A. Tidaklah mungkin ada bentuk pembantuan di sini, apabila A dalam hal meminjamkan rencong itu tidak ada keinsyafan bahwa rencong akan digunakan oleh B untuk menikam C (membunuh), misalnya B mengatakan untuk digunakan sebagai pelengkap baju pengantin pria khas Aceh. Keinsyafan A bahwa rencong yang dipinjamkan pada B hendak digunakan untuk menikam C harus telah terbentuk sebelum rencong dipinjamkan pada B.

Contoh: Pembantuan pada saat pelaksanaan kejahatan.

A memberhentikan dan memegang B yang sedang berlari kencang dengan ketakutan, karena sedang dikejar oleh C untuk dibunuh. Tidaklah mungkin ada bentuk pembantuan pembunuhan dalam hal A memberhentikan B dan memegangnya itu, apabila dalam batin A tidak ada kesadaran bahwa dalam melakukan perbuatan itu bahwa dia akan dibunuh oleh C.

Perbuatan seorang medeplichtige itu dapat disebut telah memenuhi unsur yang bersifat obyektif, apabila perbuatan yang telah dilakukan oleh medeplichtige tersebut memang telah ia maksudkan untuk mempermudah atau untuk mendukung dilakukannya suatu kejahatan. Dan ini berarti bahwa apabila alat-alat yang oleh seorang medeplichtige telah diserahkan kepada seorang pelaku itu ternyata tidak dipergunakan oleh pelakunya untuk melakukan kejahatannya, maka medeplichtige tersebut juga tidak dapat dihukum.

Contoh: Pembantuan sebelum pelaksanaan kejahatan.

A seorang pemilik senjata api memberikan pinjaman kepada temannya B yang diketahuinya untuk membunuh C. Wujud perbuatan meminjamkan senjata api ini, tidaklah menentukan untuk terwujudnya pembunuhan atau matinya C. Terwujudnya pembunuhan atau matinya C adalah sepenuhnya bergantung dari perbuatan B pembuat pelaksananya, apakah dia mempergunakannya menembak ataukah tidak, dan apabila telah digunakannya menembak musuhnya, apakah perbuatannya menembak itu mampu memenuhi syarat yang mematikan korban C ataukah tidak.

Contoh: Pembantuan pada saat berlangsungnya pelaksanaan kejahatan.

A memegangi kaki seorang perempuan yang sedang diperkosa oleh seorang laki-laki B. Perbuatan A berupa memegang kaki korban, tidaklah menentukan penyelesaian kejahatan perkosaan itu, melainkan sekadar mempermudah saja bagi temannya B dalam menyelesaikan atau mewujudkan perkosaan. Penyelesaian perkosaan sepenuhnya bergantung dari pembuat pelaksananya atau si pemerkosa itu sendiri, apakah dia mampu melakukan persetubuhan dengan perempuan yang dipaksanya itu ataukah tidak. Persetubuhan disini diartikan dapatnya dia memasukkan alat kelaminnya ke dalam alat kelamin perempuan itu yang kemudian mengeluarkan sperma. 

D. Perbedaan Beberapa Bentuk Deelneming

a. Perbedaan antara uitlokking dengan doen plegen:

Uitlokking Doen Plegen
Perbuatan orang yang digerakkan untuk melakukan suatu tindak pidana itu harus dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut. Perbuatan orang yang disuruh melakukan sutau tindak pidana itu harus tidak dapat dipertanggung-jawabkan kepada orang tersebut.
Cara-cara yang harus dipergunakan untuk meng-gerakkan orang lain itu telah ditentukan secara limitatif dalam undang-undang Cara-cara untuk menyuruh melakukan itu tidak ditentukan di dalam undang-undang

b. Perbedaan antara uitlokking dengan medeplichtigheid:

Uitlokking Medeplichtigheid
Orang yang digerakkan untuk melakukan suatu tindak pidana itu pada awalnya tidak mempunyai opzet untuk melakukan tindak pidana tersebut. Opzet orang yang digerakkan untuk melakukan suatu tindak pidana itu, justru dibangkitkan karena adanya uitlokking. Pelakunya telah mempunyai opzet untuk melakukan suatu kejahatan, yang kemudian didukung atau didorong oleh suatu medeplichtigheid.

c. Perbedaan antara medeplegen dengan medeplichtigheid:

Medeplegen Medeplichtigheid
Perbuatan seorang medepleger ditekankan pada perbuatan turut melakukan. Perbuatan seorang medeplichtige ditekankan pada perbuatan membantu melakukan atau membantu untuk melakukan suatu kejahatan.
Seorang medepleger itu harus melakukan suatu uitvoeringshandeling atau suatu tindakan pelaksanaan. Seorang medeplichtige itu cukup apabila ia telah melakukan suatu voorbereidingshandeling atau suatu tindakan persiapan ataupun suatu ondersteuningshandeling atau suatu tindakan dukungan.
Turut melakukan suatu pelanggaran dapat dihukum. Membantu melakukan pelanggaran tidak dapat dihukum.
Seorang medepleger dapat dijatuhi hukuman yang sama beratnya dengan hukuman yang dapat dijatuhkan kepada seorang pelaku, sesuai dengan hukuman yang telah diancamkan di dalam rumusan suatu delik. Seorang medeplichtige itu dapat dijatuhi dengan hukuman pokok yang terberat yang dapat dijatuh-kan kepada pelakunya setelah dikurangi dengan sepertiga-nya.

E. Pengaturan Deelneming atau Penyertaan Dalam RKUHP

Penyertaan dalam RKUHP diatur pada Paragraf 5, terdiri dari 3 pasal yaitu Pasal 21, 22, dan 23

Pasal 21

Dipidana sebagai pembuat tindak pidana, setiap orang yang :

  • a. Melakukan sendiri tindak pidana;
  • b. Melakukan tindak pidana dengan perantaraan alat atau orang lain yang tidak dapat dipertanggungjawabkan;
  • c. Turut serta melakukan; atau
  • d. Memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman kekerasan, atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana, atau keterangan, memancing orang lain supaya melakukan tindak pidana.

Penjelasan:

_Huruf a

Suatu tindak pidana dapat dilakukan oleh satu atau beberapa orang. Jika dilakukan oleh beberapa orang, maka tiap-tiap peserta dalam perbuatan itu mempunyai kedudukan yang mungkin berbeda-beda. Dalam ketentuan pasal ini ditentukan bentuk-bentuk dari penyertaan tersebut yaitu orang yang melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan tindak pidana, dipidana sebagai pembuat.

Menyuruh melakukan tindak pidana terjadi sebelum dilakukannya tindak pidana dan tidak dipersoalkan tentang cara menyuruh dan cara pembuat tindak pidana materiil melakukan tindak pidana. Dalam hal menyuruh melakukan, pembuat tindak pidana materiil tindak pidana tidak dipidana.

Pertanggungjawaban dari orang yang menyuruh dibatasi sampai pada perbuatan yang dilakukan oleh pembuat tindak pidana materiil.

Turut serta melakukan tindak pidana adalah mereka yang bersama-sama melakukan tindak pidana. Jadi mereka dengan sengaja ikut serta dan tidak perlu tiap-tiap peserta hams melakukan perbuatan pelaksanaan dilihat sebagai kesatuan.

Dengan demikian hal yang utama adalah dalam pelaksanaan tindak pidana terdapat kerja sama Dalam menentukan turut serta melakukan tindak pidana, perbuatan masing-masing peserta tidak dilihat secara terpisah, berdiri sendiri, dan terlepas dari perbuatan peserta lainnya, tetapi yang erat antarpara peserta.

_Huruf b

Peserta yang dimaksud dalam ketentuan ini disebut sebagai penganjur. Pada dasarnya, penganjur melakukan tindak pidana dengan perantaraan orang lain. Berbeda dengan perbuatan menyuruh di mana pembuat tindak pidana materiil tidak dipidana, maka dalam penganjuran pembuat tindak pidana materiil dapat dipidana.

Tidak setiap tindak pidana yang dilakukan dengan perantaraan orang lain adalah penganjuran. Syarat-syarat untuk penganjuran disebutkan secara limitatif, yakni :

  1. Memberi atau menjanjikan sesuatu;
  2. Menyalahgunakan kekuasaan atau martabat;
  3. Menggunakan kekerasan, ancaman, atau penyesatan; atau
  4. Memberi kesempatan, sarana atau keterangan.

Yang dimaksud dengan "memberi atau menjanjikan sesuatu" adalah memberi atau menjanjikan sesuatu barang, uang, dan keuntungan yang akan diterima oleh orang yang dianjurkan melakukan tindak pidana. Yang dimaksud dengan "menyalahgunakan kekuasaan atau martabat" adalah baik kekuasaan yang berdasarkan hukum publik maupun hukum privat.

Yang dimaksud dengan "menggunakan kekerasan, ancaman, atau penyesatan" adalah dengan segala macam bentuk kekerasan, ancaman, atau penyesatan yang menimbulkan orang yang dianjurkan melakukan tindak pidana. Apabila kekerasan atau ancaman sedemikian rupa sehingga pembuat tindak pidana materiil tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya, dan karena itu tidak dapat dipidana, maka dalam keadaan tersebut bukan merupakan penganjuran tetapi menyuruh melakukan.

Yang dimaksud dengan "memberi kesempatan, sarana atau keterangan" adalah termasuk upaya-upaya yang disyaratkan dalam pembantuan Huruf c.

_Huruf d

Yang dimaksud dengan "memancing" adalah membujuk (uitlokken).

Pasal 22

(1) Dipidana sebagai pembantu tindak pidana, setiap orang yang :

a. memberi bantuan pada waktu tindak pidana dilakukan; atau
b. memberi kesempatan, sarana, atau keterangan untuk melakukan tindak pidana.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku untuk pembantuan terhadap tindak pidana yang diancam dengan pidana denda Kategori I.

Penjelasan:

Terdapat dua macam bentuk pembantuan yaitu pembantuan pada waktu melakukan tindak pidana dan pembantuan yang mendahului tindak pidana. Dalam pemberian bantuan pada waktu tindak pidana dilakukan hampir terdapat kesamaan dengan ikut serta melakukan.

Dalam ikut serta melakukan terdapat kerja sama yang erat antarmereka yang melakukan tindak pidana, namun dalam pembantuan kerja sama antara pembuat tindak pidana dan orang yang membantu tidak seerat kerja sama dalam turut serta. Dalam turut serta melakukan tindak pidana, perbuatan masing-masing peserta dilihat sebagai satu kesatuan.

Bentuk kedua pembantuan dilakukan mendahului pelaksanaan tindak pidana yang sebenarnya, baik dengan memberikan kesempatan, sarana, maupun keterangan.

Pasal 23

Keadaan pribadi seseorang yang menghapuskan, mengurangi, atau memberatkan pidana hanya diberlakukan terhadap pembuat atau pembantu tindak pidana yang bersangkutan.

Penjelasan:

Ketentuan dalam Pasal ini berhubungan dengan pertanggungjawaban pidana dalam penyertaan. Apabila suatu tindak pidana dilakukan oleh beberapa orang secara bersama-sama, sedangkan di antara mereka terdapat orang yang belum cukup umur atau orang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan, misalnya, karena sakit ingatan, maka orang yang sudah dewasa atau tidak sakit jiwa,dijatuhi pidana sebagaimana biasa, sedangkan untuk yang belum cukup umur pidananya dikurangi dan untuk orang yang sakit ingatan tidak dapat dipidana.

Bibliografi:

  • Adami Chazawi. 2005. Pelajaran Hukum Pidana (Percobaan & Penyertaan). Jakarta: RajaGrafindo Persada.
  • Abidin Farid. A.Z. & A.Hamzah. 2006. Bentuk Bentuk Khusus Perwujudan Delik (Percobaan, Penyertaan, dan Gabungan Delik) dan Hukum Penitensier. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
  • Lamintang. 1984. Dasar-Dasar Untuk Mempelajari Hukum Pidana Yang Berlaku Di Indonesia. Bandung: Sinar Baru.
  • R. Soesilo. 1993. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia.
  • Schaffmeister. dkk (Eds). 2007. Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya.
Anda kini sudah mencapai bagian akhir dalam menuntaskan pembahasan Bab X (kesepuluh) yang merupakan materi dari mata kuliah Hukum Pidana. Silahkan klik tombol di bawah ini untuk memilih bab selanjutnya. 👇👇👇
Adam Malik
Pendiri https://www.situshukum.com yang sudah bergelar S.H namun juga gemar dengan dunia Teknologi. Salam Kenal!

Related Posts

Post a Comment

Subscribe Our Newsletter